Judul : Teknik Menulis Naskah Reportase / Report (Laporan) Langsung
A. Pendahuluan
Perbedann
antar laporan dan berita mungkin hanyalah masalah waktu saja. Kalau kita
beranjak dari pengertian berita selamanya harus memiliki unsure seperti:
-
Kejadian baru
-
Kenyataan-kenyataan baru
-
Pikiran-pikiran baru
Unsure
baru ini biasanya menjadi unsure utama dari sebuah tulisan yang disebbut
“berita” atau news. Tetapi laporan haruslah meliputi:
-
Segalan kisah kenyataan yang tidak
mengenai suatu “kejadian baru”
-
Atau kenyataan baru
-
Atau pikiran baru
Tetapi
sesuatu yang mengenai “keadaan”
Yang
mengenai keadaan inilah yang sering disebut laporan atau reportase.
Akan tetapi:
Menurut
Jawoto: pada hakekatnya laporan yang sama sekali kosong dari pada
kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya baru bagi banyak orang. Semua hal yang
tidak lagi baru sesungguhnya juga berita (Jawoto 1959: 434).
Bedanya:
Kalau
berita harus dikirim dengan cepat dengan menggunakan biaya yang cukup besar,
tetapin laporan bisa dikirimkan kemudian setelah ditulis oleh wartawan pelapot
secara bai, bersambung dsb. Tanpa harus dikirimkan saat itu seperti berita yang
dianggap penting dan hangat.
Persamaannya:
Laporan
dan berita sama-sama memiliki sumber berita dan semua harus memiliki latar
belakang kenyataan/fakta. Ada yang menamakan laporan (reporting) ini dengan
sebutan INTERPRETATIVE REPORTING (pembeeritaan ulasan).
B. Interpretative Reporting
Rumus:
1. Memiliki
matter of fact report (happenings)
2. Ada
talking point (pendapat-pendapat, umumnya dari pihak ketiga)
3. Memiliki
latar belakang (sejarah)
4. Interpretasi
dan spekulasi tentang apa yang mungkin akan terjadi kemudian. Ini kadangkala
sifatnya sangat subyek.
Kalau
kita melihat adanya unsure interpretative ini, maka laporan ini bukan berita
tapi laporan itu adalah fakta dan opini serta subyektivitas.
Kantor
berita-kantor berita asing seperti Reuter Ingris dewasa ini mengharapkan berita
memiliki unsure yang mendalam (dept news). Jadi melalui teknik laporan ini
banyak disukai oleh kantor berita asing. Kantor berita asing ini menyebutnya
dengan istilah “Third Demention” (berita yang mendalam). Karena menuru mereka
pembaca diberikan “Uncolored Fact” yaitu biarlah mereka menarik kesimpulan
sendiri yang dewasa ini sudah banyak ditinggalkan oleh kantor-kantor berita.
Rumusan ini dinyatakan oleh seorang bernama Bartholomew. Sedangkan Lippman
memberikan pendapat tentang reportase ini adalah untuk:
“Kepentingan-kepentingan tertentu
dengan maksud untuk mempengaruhi pendapat umum” (Jawoto 1965: 53).
Pendapat
ahli lain yang bergabbung dalam columnist (penulis kolom) berkata:
“Dinegeri-negeeri Barat dimana
“news” pada prinsipnya harus dibuat secara “onpersoonlijk” (tidak bersorak
pribadi, ini teoritis prakteknnya sering tidak begitu), makin lama makin banyak
wartawan yang melakukan apa yang dinamakan “PERSONAL JOURNALIS”, yang pada
dasarnya tidak berbeda dengan Interpretative Reporting itu (tetapi bukan
report), atau lebih jauh lagi hasil pekerjaan mereka adalah Comments. Wartawam-wartawan ini
dinamakan Columnist. Juga ahli-ahli
(bukan wartawan) sering menulis artikel-artikel special”. (Ibid: 53)
Menurut
William Albig ahli dibidang Public
Opinion berpendapat, (William Albig mirip Bartholomew berkata):
“Orang tidak puas dengan “news”
belaka. Karena dalam menghadapi masalah-masalah pentinf pembaca surat kabar
sering menghendaki jawaban atas pertanyaan: mengapa? (Ibid: 53)
Sedangkan
menurut Curtis D. Macdogal ahli
Opini Publlik berpendapat:
“Kini disangsikan kebenarannya
tentang fakta saja teetapi bahwa disamping editorial comments, maka
interpretative reports dan artikel-artikel special terutama mengenai politik
dan soal-soal yang bersifat konvensional lainnya menjadi media terpenting untuk
memupuk pendapat umum melalui pers. Untuk itu katanya pemimpin redaksi berhak
sepenuhnya melakukan kebijakan redaksional”.
Interpretative
Reporting banyak digunakan dinegara-negara yang berlatar belakang demokrasi,
tetapi Negara-negara sosialis dan komunis gaya ini sulit dilakukan.
Untuk
menjawab pertanyaan pembaca itu, maka teknik penulisan laporan jelas dan baik,
meskipun unsure opini subyektif selalu ada. Tetapi sesuatu yang tadinya baru akan
semakin jelas bila dibuar gaya reportase.
Oleh
karena itu jika perlu bisa melakukan:
1. Baik
membuat news
2. Baik
membuat report
3. Baik
membuat reportage
4. Baik
membuat Interpretative report
5. Membuat
special artikel dll.
Didalam
kode Jurnalistik PWI dulu ada tersebut kata Bylene Story. Yang dimaksud dengan itu adalah report,
reportage dan interpretative report yang selalu mempunyai corak pribadi.
C.
Pengertian
dan Penjelasan
1.
Report
Report
termasuk news ada dua macam:
1.1
Report secara Zakelijk (apa adanya) sepenuhnya onpersoonlijk (menyangkut
masalah pribadi) dalam arti relative.
1.2
Report yang baik dibatasi pada faktanya semata-mata, tetapi mengandung “human
element”, mengandung lukisan tentang elemen manusianya yang bersangkutan dengan
faktanya itu. Ini sering disebut DESCRIPTIVE REPORT. Didalam jurnallistik juga
dikenal istilah “Wax Nose” atau “Wasen Neuse” atau lukisan mengenai human
elemen yang ditonkolkan dalam LEAD sesuatu report. Ini damksudkan supaya
reportnya tidak kering, sekalipun tidak menyimpang dari apa adanya, menurut
penglihatan pelapornya. Sebab itu maka jurnalistik juga dinamakan suatu vak
yang menggabungkan “ketelitian ilmu pengetahuan” dan “kesusastraan”.
Syarat membuat Report:
1. Laporkan
terlebih dahulu sesuatu yang dipandang pelik
2. Jangan
meninggalkan keobyektifannya
3. Jangan
menggunakan kata sifat (ajektif) kata keterangan (adverb) yang melukiskan
perasaan pelapor seperti:
3.1 Kata
serem
3.2 Kata
hebat
3.3 Kata
kejam
3.4 Kata
bengis dll.
Karena akan dianggap oleh pembaca
itu hanyalah menurut pelapor sendiri
4. Tidak
perlu secara berlebihan menonjolkan human element
5. Segala
sesuatu yang berlebihan itu menjurus kepada sensasional
6. Hindarkan
ada unsure-unsur menghasut didalamnya
7. Ikuti
teknik penulisan sebagaimana menyusun berita
Ingat: Report itu termasuk News
2.
Reportage
atau Interpretative Report
Pembaca surat kabar banyak yang
ingin mengetahui jawaban pertanyaan dari kata “mengapa” dan “bagaimana” mereka
tidak puas hanya diberikan faktanya saja, meskipun laporan itu dianggap sangat
subyektif apalagi dicampur dengan comment. Reportase sering berisi fakta dan
opinin, latar belakang, interpretasi dan kesimpulan serta spekulasi. Tetapi
dalam interpretative haruslah dipisahkan antar gambaran yang obyektif dan
pencerminan subyektif.
Kita
harus berpatokan bahwa peran surat kabar itu antara lain:
1. Untuk
memberikan bimbingan kalau perlu bimbingan yang dalam\
2. Bimbingan
tiga dimensi yang meliputi:
a. Fakta
b. Jawaban
dari pernyataan bagaimana dan mengapa
c. Obyektif
Peran
Reportase atau Interpretative ini adalah untuk melayani pembaca atas keinginannya
atau kerinduannya mendapat jawaban bagaimana dan mengapa didalam pemberitaan
biasa (Spot News).
Ingat
kata subyektif tidak identik dengan “tidak kejujuran”
Contoh
Praktek:
“Pada suatu tempat yang ramai di
kota Jakarta sebuah becak yang memuat dua anak bertubrukan dengan mobil.
Seorang anak mati, lainnya luka, tukang becaknya hanya lecet lututnya, mobilnya
pecah lenteranya, sang sopir selamat, hanya tampaknya pucat. Polisi dating
untuk mengurus masalahnya. Yang mati dan luka diangkut ke rumah sakit”.
Contoh
diatas itu adalah berita (spot news).
Materi
dari faktanya (matter of fact) yang sesungguhnya juga tidak sepenuhnya
diceritakan bebas sama sekalau dari subyektivitas. Lihat pernyataan “hanya
lecet lututnya, “hanya tampak pucat”. Berita semacam ini bisa saja ditulis
dengan gaya lebih panjang apalagi kalau mkasalah lalu-lintas dianggap sebagai
masalah penting ditengah-tengah masyarakat. Ini bisa dibuat dengan gaya laporan
(report atau reportage).
Dengan
bahan yang sama ini, bila ditulis oleh semacam wartawan maka gaya laporannya
juga berbeda. Untuk pembaca, sering fact untuk pembaca A tidak penting untuk
pembaca B, C atau D. oleh karena itub kata subyektivitas itu kadangkala
relative.
Jawoto mengatakan:
“Obyektivitas didalam kurnalisadalah Subjektive-Objektiviteit” Misalnya sebutan:
1. Pers
2. Imperialis
3. Pers
kapitalis
4. Pers
konoliallis
5. Pers
nasional
6. Pers
colonial
7. Pers
buruh
8. dsb
Pemberian arti ini juga ada unsure subyektifitasnya. Untuk beberapa Negara sering pers digunakan dan ditetapkan untuk “Kepentingan Negara” ini juga salah satu bentuk subyektif. Jaman Jepang pengertian Negara dan Pemerintah tidak bisa salah. Oleh karena itu pejabat pemerintah atau Negara harus diturut demikian pers Fasis Jaman Jepang.
0 Response to "Penulisan Humas Pertemuan 11"