BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Secara umum semiotika telah dimulai sejak
filosof Yunani kuno, seperti Plato dan Aristoteles, dan juga pada ahli-ahli
skolastik abad pertengahan.Semiotika merupakan cabang ilmu yang berkaitan
dengan system tanda dan yang berlaku bagi penggunaan tanda.
Membaca terori mengenai semiotika yang sampai sekarang ini masih banyak dipelajari dalam ilmu teori komunikasi, membuat penulis merasa tertarik dan membuat
rasa keingintahuan untuk lebih mengenal mengenai teori
pendekatan semiotika. Oleh
karena itu penulis mengambil judul “Teori Semiotika”
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang Penulis tentukan yaitu:
1. Apa
yang dimaksud dengan teori semiotika?
2. Apa
saja masalah yang berkaitan dengan semiotika?
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan Penulis
melakukan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
teori semiotika;
2. Untuk
mengetahui masalah yang sedang terjadi;
3. Sebagai bahan untuk membuat makalah guna memenuhi syarat
ujian Bahasa Indonesia.
1.3.2 Manfaat
Penulisan
Pada penulisan
makalah ini penulis
mengharapkan manfaat yang maksimal, walaupun diaksanakan dengan kemampuan yang
terbatas, sehingga penyajian masih jauh dari kata sempurna.
Adapun manfaatnya adalah sebagai berikut :
1. Bagi penulis;
Penulisan ini dilakukan untuk menimba ilmu pengetahuan dan pemahaman bagi penulis
mengenai teori pendekatan semiotika.
2. Bagi peneliti lain.
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran kepada
peneliti lain atau para akademis yang akan mengkaji tema yang sama.
1.4
Metode dan Teknik Penelitian
Metode dan teknik
penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode
deskriptif analitis, yakni penelitian yang bertujuan untuk membuat penjelasan
secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta tertentu hasil
temuan dari sumber kepustakaan.
1.5
Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian
yang penulis gunakan adalah sumber datasekunder.Penulis
mengumpulkan data-data dan informasi dari buku-buku dan
internet, dan pembimbing yang diperuntukan untuk memperoleh data yang teoritis yang nantinya
akan digunakan sebagai dasar pengetahuan dan pertimbangan dalam melaksanakan penulisan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Definisi Semiotika
Semiotik berasal dari kata Yunani semeion,yang berarti tanda.Dalam
pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam
berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan unutk
memandang berbagai wacana social sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain,
bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan
semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa,
maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda.Hal ini dimungkinkan karena
luasnya pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998:262).
Semiotika menurut Berger memiliki dua
tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce
(1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah
dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure adalah linguistic, sedangkan Peirce
filsafat. Saussure menyebutnya ilmu yang dikembangkan semiology(semilogy).
Semiology menurut Saussure seperti
dikutip dikutip Hidayat, didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan
tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda,
dibelakangnya harus ada system perbedaan ddan konvensi yang memungkinkan makna
itu.Dimana ada tanda, disana ada system (Hidayat, 1998:26).
Sedangkan Pierce menyebut ilmu yang
dibangun semiotika (semiotics).Bagi
Pierce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan
lewat tanda. Artinya,manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya,
logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam
tanda (Berger, 2000:11-12). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika
lebih popular dari padasemiologi.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari
tanda (sign),berfungsinya tanda dan
produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang
lain. Dalam pandangan Zoes, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat
teramati dapat disebut tanda.Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda.Adanya
peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu
kebiasaan, semua itu dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat
tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala
mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu,
letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam
membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih,
bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran,
kelengahan, semua itu dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993, 1993:18)
Menurut Saussure, seperti dikutip
Pradopo (1991:54) tanda ada;ah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat
dipisahkan, seperti hanya selembar kertas. Dimana ada tanda, disana ada
system.Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek
yang ditangkap oleh Indra kira yang disebut dengan signified, bidang petanda atau konsep atau makna.Aspek kedua
terkandung didalam aspek pertama. Jadi pertanda merupakan konsep atau apa yang
dipresentasikan oleh aspek pertama.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda
terletak pada tingkatan ungkapan (level
of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti
bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek dan sebagainya.
Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau
gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan
(mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain. Ini disebut referent.Lampu merah mengacu pada kesedihan. Apabila hubungan
antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau
mendengar akan timbul pengertian (Eco, 1979:59).
Menurut Pierce, tanda (representament) ialah sesuatu yang dapat
mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda
akan selalu mengacu kepada sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili
atau menggantikan.Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpresentasikan dalam
benak penerdima tanda melalui interpretantt.Jadi
interpretantt ialah pemahaman makna
yang muncul dalam diri penerima tanda.Artinya, tanda baru dapat berfungsi
sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat groumd, yaitu pengetahuan tentang system
tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce
terkenal dengan nama segitiga semiotic.
Ikon adalah tanda yang antara tanda
dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora.Contoh ikon
adalah potret.Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut
indeks.Tanda seperti ini disebut metomini.Contoh indeks adalah tanda panah
petunjuk arah bahwa disekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan
tanda hari akan hujan. Symbol adalah tanda yang diakui keberadaanya berdasarkan
hokum konvensi. Contoh symbol adalah bahasa tulisan/
Ikon, indeks, symbol merupakan
perangkat hubungan antara dasar
(bentuk), objek (referent) dan konsep
(interpretantt atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan
menimbulkan persepsi persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan
menimbulkan interpretantt. Proses ini
merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan iklan.
Rangkaian pemahaman akan berkembang
terus menerus, seiring dengan rang kaian semiosis
yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya, terjadi tingkatan rangkaian semiosis. Interpretantt pada rangkaian semiosis lapisan pertama akan menjadi
dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang
berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda [ada
lapisan kedua dan denikian seterusnya.
Terkait dengan itu, Barthes seperti
dikutip Iriantara dan Ibrahim (2005:118-119) mengemukakan teorinya tentang
makna konotatif.Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah
satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertanda kedua. Konotasi
menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan
atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya.Ini terjadi tatkala makna
bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya berlangsung
ketika interpretant dipengaruhi sama
banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.
2.2 Tanda
(Ikon, Indeks, Simbol)
Merujuk teori Pierce (Noth, 1995:45),
tanda-tanda dalam gambar dapat digolongkan ke dalam ikon, indeks, dan
symbol.Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya.Misalnya, Peta
Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta
tersebut. Cap jempol Sultan adalah ikon dari ibu jari Sultan.Indeks merupakan
tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya atau
disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap dan api, asap menunjukkan
adanya api.Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau
perjanjian yang disepakati bersama. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa
Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi
orang yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Garuda
Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa.
2.3 Kode
Kode menurut Piliang (1998:17) adalah cara
pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial untuk memungkinkan satu
pesan disampaikan dari seseorang ke orang lainnya.Sedangkan kode dalam
terminology sosiolinguistik ialah variasi tutur yang memiliki bentuk khas,
serta makna yang khas pula (Poedjosoedarmi, 1986:27).Dalam praktik bahasa,
sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan diatur melalui seperangkat
konvensi atau kede.Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang menjadikan
tanda sebagai tampilan yang konkret dalamsistem komunikasi (Eco, 1979:9).
Fungsi teks-teks yang menunjukan pada
sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakn berkat sejumlah kaidah, jandi dan
kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan alas an mengapa tanda-tanda itu
menunjukan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson merupakan sebuah
system yang dinamakan kode (hartoko, 1992:92),
Kode pertama yang berlaku pada teks-teks
adalah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks yang
bersangkutan.Kode bahasa ini dicantumkan dalam kamus dan tata bahasa.Selain
itu, teks-teks tersusun menurut kode-kode lain yang disebut kode sekunder,
karena bahannya ialah sebuah system lambing primer, yaitu bahasa.Sedangkan
struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk argumentaasi, system
metric, semua itu merepakan kode-kode sekunder yang digunakan dalam teks-teks
untuk mengalihkan arti.
Ronald Barthes dalam buku S/Z
mengelompokan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode
hermeutik, kode semantic, kode simbolik, kode narasi dank ode kultural atau
kode kebudayaan (Barthes, 1974:106). Uraian kode-kode tersebut dijelaskan
Pradopo (1991:80-81) sebagai berikut:Kode
hermeneutic, yaitu artikulasi pelbagai cara pertanyaan, teks-teks, respons,
enigma, penanggung jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata
lain, kode hermeneutic berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah
wacana. Siapakah mereka?Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Jawaban
yang satu menunda jawaban yang lain.
Kode
semantic, yaitu kode yang
mengandung konotasi pada level penanda.Misalnya konotasi femininitas dan
maskulinitas. Atau dengan kata lain, kode semantic adalah tanda-tanda yang ditata
sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminism, kebangsaan, kesukuan
atau loyalitas,
Kode
simbolik, yaitu kode yang
berkaitan dengan psikonalisis, antithesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur
atau skizofrenia.Kode narasi, atau proairetik yang mengandung cerita, urutan, narasi atau
antinarasi.
Kode
kebudayaan atau kultural¸yaitu suara-suara yang bersifat
kolektif, anonym, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah,
moral, psikologi, sastra, seni dan legenda.
2.4 Makna Denotatif dan Konotatif
Semua makna budaya diciptakan
menggunakan symbol-simbol.Symbol, mengacu pendapat Spradley (1997:121) adalah
objek atau peristiwa apapun yang menunjuk kepada sesuatu. Semua symbol
melibatkan tiga unsur: pertama¸simbolitu
sendiri.Kedua, satu rujukan atau lebih.ketiga,
hubungan antara symbol dengan rujukan. Semua itu merupakandasar bagi
keseluruhan makna simbolik.Sementara itu, symbol sendiri meliputi apapun yang
dapat kita rasakan atau alami.
Spradly (1997:122) menjabarkan makna
denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial).Pilang
(1998:14)mengartikan makna denotative hubungan ekplisit antara tanda dengan
referensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotative.Misalnya, ada gambar
manusia, binatang, pohon, rumah.Warnanya juga dicatat, sepertimerah, kuning,
biru, putih dan sebagainya.Pada tahapan ini, hanya informasi data yang
disampaikan.
Spradly (1997:123) menyebut makna
konotatif meliputi semua signifikan sugesti dari symbol yang lebih daripada
arti referensialnya. Menurut Piliang (1998:17), makna konotatif meliputi aspek
makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan
ideology. Contohnya, gambar wajah orang tersenyum dapat diartikan sebagai suatu
kemarahan, kebahagiaan.Tetapi sebaliknya, bisa saja tersenyum diartikan sebagai
ekspresi penghinaan terhadap seseorang. Untuk memahami makna konotatif, maka
unsur-unsur yang lain harus dipahami pula.
Menurut Wiliamson, teori semiotika iklan
menganut prinsip-prinsip peminjaman tanda sekaliguspeminjaman kode sosial.
Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang film terkenal, figure bintang film
tersebut dipinjam mitos, ideology, image dan
sifat-sifat glamour bintang film
tersebut.
Williamson membagi a currency of sign menjadi beberapa bagian. Diantaranya product as signified (produk sebagai
petanda, konsep, atau makna), product as
signifier (produk sebagai penanda,bentuk), product as generator, and product as currency (Williamson,
1984:24-38).
Pemahaman di atas merupakan pemahaman
teori semiotika strukturalis.Kaum strukturalis mencoba mengungkapkan prinsip
bahwa perbuatan manusia mensyaratkan sistem yang diterima dari berbagai
hubungan, yang diterapkan oleh Barthes kepada semua praktik sosial.Ia
menafsirkan hal-hal itu sebagai sistem tanda yang beroperasi atas model bahasa.
Semiotika struktural berpegang pada
prinsip form follows function, dengan
mengikuti model semiotic penanda atau fungsi (Piliang, 1998:298). Semiotika
structural mengacu pada Saussure dan Barthes dengan signifier (penanda, bentuk) dan signified
(petanda, makna). Hubungan antara penanda dan petanda relatif stabil dan
abadi.
Pada jantung strukturalisme, menurut
Pradopo, ada ambisi ilmiah untuk menemukan kode, aturan, sistem yang mendasari
semua praktik sosial dan kebudayaan manusia (Pradopo, 1991:71)
Sedangkan pascastrukturalis, menurut
Piliang mengacu pada konsep intertekstualitas
Julia Kristeva dan konsep dekontruksi
Jacques Derrida.Julia Kristeva misalnya, menggunakan istilah intertektualitasuntuk menjelaskan fenomena
dialog antarteks, kesalingtergantungan antara suatu teks (karya) dengan teks
(karya) sebelumnya.Kristeva melihat kelemahan dalam konsep referensi dari
formalisme dan modernism yang cenderung melecehkan kutipan atau kuotasi. Bagi
Kristeva, sebuah teks atau karya seni tidak lebih semacam permainan dan mozaik
kutipan-kutipan dari berbagai teks atau karya masa lalu.Ia mengistilahkan
semacam ruang ‘pasca sejarah’ yang di dalamnya beberapa kutipan dari berbagai
ruang, waktu dan kebudayaan yang berbeda-beda saling melakukan dialog.
Sebagaimana yang dikemukakan Kristeva, sebuah teks (karya) hanya dapat eksis
apabila di dalamnya terdapat beberapa ungkapan yang berasal dari teks-teks
lain, silang menyilang dan saling menetralisir stu dengan lainnya.
Sebagai proses linguistik dan diskursif,
Kristeva menjelaskan intertektualitas sebagai
pelintasan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya. Ia menggunakan
istilah transposisi untuk menjelaskan
pelintasan dalam ruang pasca sejarah ini, yang di dalamnya satu atau beberapa
sistem tanda digunakan untuk menginterogasikan satu atau beberapa sistem tanda
yang ada sebelumnya. Interogasi tekstual ini dapat menghasilkan
ungkapan-ungkapan baru yang sangat kaya dalam bentuk maupun makna. Interogasi
ini dapat berupa peminjaman atau penggunaan (pastiche),
distorsi, plesetan, atau permainan
makna untuk tujuan kritis, sinisme, atau sekedar lelucon (parodi), pengelabuan
identitas dan penopengan (camp),
serta reproduksi ikonis atau kitch.
Sebuah tek posmodernisme bukanlah
ekspresi tunggal-individual sang seniman, kegelisahannya, ketakutannya,
ketertekanannya, keterasingannya, kegairahannya, atau kegembiraannya, melainkan
sebuah permainan dengan kutipan-kutipan bahasa. Kecenderungan posmodernisme
adalah menerima segala macam pertentangan dan kontradiksi di dalam karyanya,
disebabkan bercampuraduknya berbagai bahasa.Teks posmodernisme tidak bermakna
tunggal.Aneka ragam bahasa masa lalu dan sudah ada, dengan asal-muasal yang
tidak pasti, yang didalamnya aneka macam tulisantak satupun diantaranya yang
orsinil, bercampur dan berinteraksi.Teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan
yang diambil dari berbgai pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya
(Piliang, 1998:284).
Posmodernisme menggunakan prinsip form follows fun dengan model semiotic
penanda dan makna ironis (Piliang: 1998:298).
BAB III
MASALAH
3.1 Dari “Kekerasan Domestik” ke “Kekerasan Simbolik”
Dalam
ruang public (public sphere),
kekerasan fisik dan psikologis terhadap wanita hingga kini juga masih mewarnai
kehidupan.Kekerasan ini tampak dalam bentuk pelecehan, perkosaan, penodaan
terhadap wanita bahkan di tempat-tempat umum yang terbuka.Namun, kini kekerasan
fisik (physical violence) didalam
rumah tangga tampak telah diperkukuh lagi dengan kekerasan simbolik (symbolic violence) yang berlangsung
diruang public.Kekerasan simbolik menemukan tempatnya yang paling subur dalam
media, sebab media memungkinkan terjadinya berbagai corak kekerasan “tak tampak
tapi terasa” (seperti distorsi, pelencengan, pemalsuan, plesetan).
Kini,
kita bisa menemukan corak kekerasan simbolik yang muncul dalam bentuk
penggunaan bahasa dan foto atau gambar yang muncul di media (baik cetak maupun
elektronik) yang memposisikan wanita dalam stereotype body and beauty, not brain. Tidak jarang kita menemukan dalam media
massa cetak dan elektronik bahasa atau gambar yang secara ideologis mengandung
makna yang merendahkan, menghakimi dan bahkan menghina.
Sering
kita temukan dalam pemberitaanmengenai korban pembunuhan dan perkosaan. Pasti
yang akan ditonjolkan media adalah bagian-bagian tubuh wanita secara detail,
seakan-akan tubuh korban sebagai “barang seni” yang harus dideskripsikan dara
korban atau wanita lain.Selain itu, yang juga sering dilupakan adalah kekerasan
simbolik yang berdampak psikologis terhadap wanita dalam bentuk penggunaan
kata-kata kasar dan hardikan yang bisa kita temukan dalam berbagai kesempatan.
Dalam
studi komunikasi politik, bahasa dianggap sebagai senjata yang ampuh dalam peraturan
politik tingkat tinggi.Bahasa adalah kekuatan dalam perang dan damai.Ia menjadi
ajang pergulatan cinta dan dusta. Ia menjadi ranah pertentangan, trik dan
intrik. Bahasa adalah pemicu atau penengah, penjara sekaligus jalan tengah,
racun sekali obat, demikianlah kalau bahasa kita maknai dalam pengertian
ideologis seperti diuraikan Terry Eagleton dalam What is Ideologi (1991).
Dalam
konteks itulah, kita bisa membongkar berbagai bahasa di media yang menampilkan
wanita dalam cermin dan cerita yang tak jarang telah terdistorsi. Pada
gilirannya, bahasa (dalam corak huruf dan gambar) telah ikut mengkontruksi
perempuan dalam posisi sebagai “warga Negara kelas dunia” (the second class citizen) kalau kita menggunakan istilah Haig A.
bosjiman dalam The Language of Opression (1983),
sehingga wanita benar-benar menjadi the second sex,menggunakan istilah yang
digunakan Simoni de Beauvior.Namun, adalagi corak kekerasan lain yang lebih
halus (subtle), yakni kekerasan simbolik dalam bentuk pemanjangan atau display tubuh wanita sebagai objek
tontonan untuk memenuhi hasrat laki-laki dan sebagai objek imajinasi serta
fantasi seksual laki-laki, atau apa yang disebut Laura Mulvey dalam artikelnya
yang cukup terkenal “Visual pleasure and
Narrative Cinema” atay sebagai objek “sensual pleasure” laki-laki”.
Sementara,akhir-akhir
ini di tanah air, kita juga tengah menyaksikan kebangkitan kembali sensualisme
dan erotisme media sebagai kiblat pendukung “jurnalis-me lheer” yang tidak lagi menjadikan seks sebagai bumbu
penyedap, tapi malah sudah sebagai menu utama. Media jenis ini memang menjadi
ajang display wanita yang suka bupati
(buka paha tinggi) dan menyediakan ruang public bagi wanita-wanita bertampang
komersial untuk menangguk hidup di pentas etalase kebudayaan pop dengan
memamerkan bagian-bagian “sekwilda” (sekitar wilayah dada).
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Semiotika (kadang juga disebut semiologi)
adalah disiplin ilmu yang mempelajari tanda (sign).Dalam kehidupan sehari-hari
tanda hadir dalam bentuk yang beraneka ragam; bisa berwujud simbol, lambang,
kode, ikon, isyarat, sinyal, dsb.Bahkan segala aspek kehidupan ini penuh dengan
tanda.Dan dengan sarana tandalah manusia bisa berfikir, tanpa tanda kita tidak
dapat berkomunikasi.
Dalam perbincangan mengenai semiotika sebagai
sebuah ilmu, ada semacam ruang kontradiksi yang secara histories dibangun
diantara dua kubu semiotika, yaitu semiotika continental Ferdinand de Saussure
dan semiotika amerika Charles Sander Pierce.
Mempelajari semiotika sama dengan kita
mempelajari tentang berbagai tanda. Cara kita berpakaian, apa yang kita makan,
dan cara kita bersosialisasi sebetulnya juga mengomunikasikan hal-hal mengenai
diri kita, dan dengan begitu, dapat kita pelajari sebagai tanda.
Tanda itu sebenarnya bertebaran di mana-mana;
di sekujur tubuh kita: ketika kita berkata, ketika kita tersenyum, ketika kita
menangis, ketika kita cemberut, dst.
DAFTAR PUSTAKA
Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika
Komunikasi Visual (Edisi Revisi). Yogyakarta:
Jalasutra.
Ibrahim, Idi Subandi. 2004. Komunikasi Empatik. Bandung : Pustaka
Bumi Quraisy
Ebook, 2012.“Pendekatan Semiotika Dalam Pembelajaran Analisis Teks”(online).
Tersedia dalamhttp://ebookbrowse.com/gdoc.php?id=279532351&url=b36ebae913e2c42cec4c73b31ad61af4
Ebook, 2012.“Penelitian
Seiotika” (online). Tersedia dalamhttp://ebookbrowse.com/makalah-semiotika-pdf-d246195682
0 Response to "Makalah Teori Semiotika"