Makalah Teori Semiotika


BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Secara umum semiotika telah dimulai sejak filosof Yunani kuno, seperti Plato dan Aristoteles, dan juga pada ahli-ahli skolastik abad pertengahan.Semiotika merupakan cabang ilmu yang berkaitan dengan system tanda dan yang berlaku bagi penggunaan tanda.
Membaca terori mengenai semiotika yang sampai sekarang ini masih banyak dipelajari dalam ilmu teori komunikasi, membuat penulis merasa tertarik dan membuat rasa keingintahuan untuk lebih mengenal mengenai teori pendekatan semiotika. Oleh karena itu penulis mengambil judul  “Teori Semiotika

1.2         Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang Penulis tentukan yaitu:
1.    Apa yang dimaksud dengan teori semiotika?
2.    Apa saja masalah yang berkaitan dengan semiotika?

1.3         Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1     Tujuan Penelitian
Adapun tujuan Penulis melakukan penelitian ini adalah:
1.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan teori semiotika;
2.    Untuk mengetahui masalah yang sedang terjadi;
3.    Sebagai bahan untuk membuat makalah guna memenuhi syarat ujian Bahasa Indonesia.
1.3.2     Manfaat Penulisan
Pada penulisan makalah ini penulis mengharapkan manfaat yang maksimal, walaupun diaksanakan dengan kemampuan yang terbatas, sehingga penyajian masih jauh dari kata sempurna.
Adapun manfaatnya adalah sebagai berikut :
1.    Bagi penulis;
Penulisan ini dilakukan untuk menimba ilmu pengetahuan dan pemahaman bagi penulis mengenai teori pendekatan semiotika.
2.    Bagi peneliti lain.
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran kepada peneliti lain atau para akademis yang akan mengkaji tema yang sama.

1.4         Metode dan Teknik Penelitian
Metode dan teknik penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif analitis, yakni penelitian yang bertujuan untuk membuat penjelasan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta tertentu hasil temuan dari sumber kepustakaan.

1.5         Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian yang penulis gunakan adalah sumber datasekunder.Penulis  mengumpulkan data-data dan informasi dari buku-buku dan internet, dan pembimbing yang diperuntukan untuk  memperoleh data yang teoritis yang nantinya akan digunakan sebagai dasar pengetahuan dan pertimbangan dalam melaksanakan penulisan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1         Definisi Semiotika
Semiotik berasal dari kata Yunani semeion,yang berarti tanda.Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan unutk memandang berbagai wacana social sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda.Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998:262).
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure adalah linguistic, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebutnya ilmu yang dikembangkan semiology(semilogy).
Semiology menurut Saussure seperti dikutip dikutip Hidayat, didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, dibelakangnya harus ada system perbedaan ddan konvensi yang memungkinkan makna itu.Dimana ada tanda, disana ada system (Hidayat, 1998:26).
Sedangkan Pierce menyebut ilmu yang dibangun semiotika (semiotics).Bagi Pierce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya,manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-12). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih popular dari padasemiologi.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign),berfungsinya tanda dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoes, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda.Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda.Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua itu dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semua itu dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993, 1993:18)
Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopo (1991:54) tanda ada;ah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti hanya selembar kertas. Dimana ada tanda, disana ada system.Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh Indra kira yang disebut dengan signified, bidang petanda atau konsep atau makna.Aspek kedua terkandung didalam aspek pertama. Jadi pertanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek dan sebagainya.
Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain. Ini disebut referent.Lampu merah mengacu pada kesedihan. Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian (Eco, 1979:59).
Menurut Pierce, tanda (representament) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda akan selalu mengacu kepada sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan.Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpresentasikan dalam benak penerdima tanda melalui interpretantt.Jadi interpretantt ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda.Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat groumd, yaitu pengetahuan tentang system tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotic.
Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora.Contoh ikon adalah potret.Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks.Tanda seperti ini disebut metomini.Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa disekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan. Symbol adalah tanda yang diakui keberadaanya berdasarkan hokum konvensi. Contoh symbol adalah bahasa tulisan/
Ikon, indeks, symbol merupakan perangkat  hubungan antara dasar (bentuk), objek (referent) dan konsep (interpretantt atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan menimbulkan persepsi persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretantt. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan iklan.
Rangkaian pemahaman akan berkembang terus menerus, seiring dengan rang kaian semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya, terjadi tingkatan rangkaian semiosis. Interpretantt pada rangkaian semiosis lapisan pertama akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda [ada lapisan kedua dan denikian seterusnya.
Terkait dengan itu, Barthes seperti dikutip Iriantara dan Ibrahim (2005:118-119) mengemukakan teorinya tentang makna konotatif.Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertanda kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya.Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.
2.2 Tanda (Ikon, Indeks, Simbol)
Merujuk teori Pierce (Noth, 1995:45), tanda-tanda dalam gambar dapat digolongkan ke dalam ikon, indeks, dan symbol.Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya.Misalnya, Peta Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Sultan adalah ikon dari ibu jari Sultan.Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap dan api, asap menunjukkan adanya api.Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa.
2.3 Kode
            Kode menurut Piliang (1998:17) adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang lainnya.Sedangkan kode dalam terminology sosiolinguistik ialah variasi tutur yang memiliki bentuk khas, serta makna yang khas pula (Poedjosoedarmi, 1986:27).Dalam praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan diatur melalui seperangkat konvensi atau kede.Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalamsistem komunikasi (Eco, 1979:9).
Fungsi teks-teks yang menunjukan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakn berkat sejumlah kaidah, jandi dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan alas an mengapa tanda-tanda itu menunjukan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson merupakan sebuah system yang dinamakan kode (hartoko, 1992:92),
Kode pertama yang berlaku pada teks-teks adalah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks yang bersangkutan.Kode bahasa ini dicantumkan dalam kamus dan tata bahasa.Selain itu, teks-teks tersusun menurut kode-kode lain yang disebut kode sekunder, karena bahannya ialah sebuah system lambing primer, yaitu bahasa.Sedangkan struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk argumentaasi, system metric, semua itu merepakan kode-kode sekunder yang digunakan dalam teks-teks untuk mengalihkan arti.
Ronald Barthes dalam buku S/Z mengelompokan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeutik, kode semantic, kode simbolik, kode narasi dank ode kultural atau kode kebudayaan (Barthes, 1974:106). Uraian kode-kode tersebut dijelaskan Pradopo (1991:80-81) sebagai berikut:Kode hermeneutic, yaitu artikulasi pelbagai cara pertanyaan, teks-teks, respons, enigma, penanggung jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, kode hermeneutic berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka?Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Jawaban yang satu menunda jawaban yang lain.
Kode semantic, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda.Misalnya konotasi femininitas dan maskulinitas. Atau dengan kata lain, kode semantic adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminism, kebangsaan, kesukuan atau loyalitas,
Kode simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikonalisis, antithesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur atau skizofrenia.Kode narasi, atau proairetik  yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi.
Kode kebudayaan atau kultural¸yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anonym, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni dan legenda.
2.4 Makna Denotatif dan Konotatif
Semua makna budaya diciptakan menggunakan symbol-simbol.Symbol, mengacu pendapat Spradley (1997:121) adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk kepada sesuatu. Semua symbol melibatkan tiga unsur: pertama¸simbolitu sendiri.Kedua, satu rujukan atau lebih.ketiga, hubungan antara symbol dengan rujukan. Semua itu merupakandasar bagi keseluruhan makna simbolik.Sementara itu, symbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami.
Spradly (1997:122) menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial).Pilang (1998:14)mengartikan makna denotative hubungan ekplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotative.Misalnya, ada gambar manusia, binatang, pohon, rumah.Warnanya juga dicatat, sepertimerah, kuning, biru, putih dan sebagainya.Pada tahapan ini, hanya informasi data yang disampaikan.
Spradly (1997:123) menyebut makna konotatif meliputi semua signifikan sugesti dari symbol yang lebih daripada arti referensialnya. Menurut Piliang (1998:17), makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideology. Contohnya, gambar wajah orang tersenyum dapat diartikan sebagai suatu kemarahan, kebahagiaan.Tetapi sebaliknya, bisa saja tersenyum diartikan sebagai ekspresi penghinaan terhadap seseorang. Untuk memahami makna konotatif, maka unsur-unsur yang lain harus dipahami pula.
Menurut Wiliamson, teori semiotika iklan menganut prinsip-prinsip peminjaman tanda sekaliguspeminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang film terkenal, figure bintang film tersebut dipinjam mitos, ideology, image dan sifat-sifat glamour bintang film tersebut.
Williamson membagi a currency of sign menjadi beberapa bagian. Diantaranya product as signified (produk sebagai petanda, konsep, atau makna), product as signifier (produk sebagai penanda,bentuk), product as generator, and product as currency (Williamson, 1984:24-38).
Pemahaman di atas merupakan pemahaman teori semiotika strukturalis.Kaum strukturalis mencoba mengungkapkan prinsip bahwa perbuatan manusia mensyaratkan sistem yang diterima dari berbagai hubungan, yang diterapkan oleh Barthes kepada semua praktik sosial.Ia menafsirkan hal-hal itu sebagai sistem tanda yang beroperasi atas model bahasa.
Semiotika struktural berpegang pada prinsip form follows function, dengan mengikuti model semiotic penanda atau fungsi (Piliang, 1998:298). Semiotika structural mengacu pada Saussure dan Barthes dengan signifier (penanda, bentuk) dan signified (petanda, makna). Hubungan antara penanda dan petanda relatif stabil dan abadi.
Pada jantung strukturalisme, menurut Pradopo, ada ambisi ilmiah untuk menemukan kode, aturan, sistem yang mendasari semua praktik sosial dan kebudayaan manusia (Pradopo, 1991:71)
Sedangkan pascastrukturalis, menurut Piliang mengacu pada konsep intertekstualitas Julia Kristeva dan konsep dekontruksi Jacques Derrida.Julia Kristeva misalnya, menggunakan istilah intertektualitasuntuk menjelaskan fenomena dialog antarteks, kesalingtergantungan antara suatu teks (karya) dengan teks (karya) sebelumnya.Kristeva melihat kelemahan dalam konsep referensi dari formalisme dan modernism yang cenderung melecehkan kutipan atau kuotasi. Bagi Kristeva, sebuah teks atau karya seni tidak lebih semacam permainan dan mozaik kutipan-kutipan dari berbagai teks atau karya masa lalu.Ia mengistilahkan semacam ruang ‘pasca sejarah’ yang di dalamnya beberapa kutipan dari berbagai ruang, waktu dan kebudayaan yang berbeda-beda saling melakukan dialog. Sebagaimana yang dikemukakan Kristeva, sebuah teks (karya) hanya dapat eksis apabila di dalamnya terdapat beberapa ungkapan yang berasal dari teks-teks lain, silang menyilang dan saling menetralisir stu dengan lainnya.
Sebagai proses linguistik dan diskursif, Kristeva menjelaskan intertektualitas sebagai pelintasan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya. Ia menggunakan istilah transposisi untuk menjelaskan pelintasan dalam ruang pasca sejarah ini, yang di dalamnya satu atau beberapa sistem tanda digunakan untuk menginterogasikan satu atau beberapa sistem tanda yang ada sebelumnya. Interogasi tekstual ini dapat menghasilkan ungkapan-ungkapan baru yang sangat kaya dalam bentuk maupun makna. Interogasi ini dapat berupa peminjaman atau penggunaan (pastiche), distorsi, plesetan, atau permainan makna untuk tujuan kritis, sinisme, atau sekedar lelucon (parodi), pengelabuan identitas dan penopengan (camp), serta reproduksi ikonis atau kitch.
Sebuah tek posmodernisme bukanlah ekspresi tunggal-individual sang seniman, kegelisahannya, ketakutannya, ketertekanannya, keterasingannya, kegairahannya, atau kegembiraannya, melainkan sebuah permainan dengan kutipan-kutipan bahasa. Kecenderungan posmodernisme adalah menerima segala macam pertentangan dan kontradiksi di dalam karyanya, disebabkan bercampuraduknya berbagai bahasa.Teks posmodernisme tidak bermakna tunggal.Aneka ragam bahasa masa lalu dan sudah ada, dengan asal-muasal yang tidak pasti, yang didalamnya aneka macam tulisantak satupun diantaranya yang orsinil, bercampur dan berinteraksi.Teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari berbgai pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya (Piliang, 1998:284).
Posmodernisme menggunakan prinsip form follows fun dengan model semiotic penanda dan makna ironis (Piliang: 1998:298).
BAB III
MASALAH

3.1 Dari “Kekerasan Domestik” ke “Kekerasan Simbolik”
Dalam ruang public (public sphere), kekerasan fisik dan psikologis terhadap wanita hingga kini juga masih mewarnai kehidupan.Kekerasan ini tampak dalam bentuk pelecehan, perkosaan, penodaan terhadap wanita bahkan di tempat-tempat umum yang terbuka.Namun, kini kekerasan fisik (physical violence) didalam rumah tangga tampak telah diperkukuh lagi dengan kekerasan simbolik (symbolic violence) yang berlangsung diruang public.Kekerasan simbolik menemukan tempatnya yang paling subur dalam media, sebab media memungkinkan terjadinya berbagai corak kekerasan “tak tampak tapi terasa” (seperti distorsi, pelencengan, pemalsuan, plesetan).
Kini, kita bisa menemukan corak kekerasan simbolik yang muncul dalam bentuk penggunaan bahasa dan foto atau gambar yang muncul di media (baik cetak maupun elektronik) yang memposisikan wanita dalam stereotype body and beauty, not brain. Tidak jarang kita menemukan dalam media massa cetak dan elektronik bahasa atau gambar yang secara ideologis mengandung makna yang merendahkan, menghakimi dan bahkan menghina.
Sering kita temukan dalam pemberitaanmengenai korban pembunuhan dan perkosaan. Pasti yang akan ditonjolkan media adalah bagian-bagian tubuh wanita secara detail, seakan-akan tubuh korban sebagai “barang seni” yang harus dideskripsikan dara korban atau wanita lain.Selain itu, yang juga sering dilupakan adalah kekerasan simbolik yang berdampak psikologis terhadap wanita dalam bentuk penggunaan kata-kata kasar dan hardikan yang bisa kita temukan dalam berbagai kesempatan.
Dalam studi komunikasi politik, bahasa dianggap sebagai senjata yang ampuh dalam peraturan politik tingkat tinggi.Bahasa adalah kekuatan dalam perang dan damai.Ia menjadi ajang pergulatan cinta dan dusta. Ia menjadi ranah pertentangan, trik dan intrik. Bahasa adalah pemicu atau penengah, penjara sekaligus jalan tengah, racun sekali obat, demikianlah kalau bahasa kita maknai dalam pengertian ideologis seperti diuraikan Terry Eagleton dalam What is Ideologi (1991).
Dalam konteks itulah, kita bisa membongkar berbagai bahasa di media yang menampilkan wanita dalam cermin dan cerita yang tak jarang telah terdistorsi. Pada gilirannya, bahasa (dalam corak huruf dan gambar) telah ikut mengkontruksi perempuan dalam posisi sebagai “warga Negara kelas dunia” (the second class citizen) kalau kita menggunakan istilah Haig A. bosjiman dalam The Language of Opression (1983), sehingga wanita benar-benar menjadi the second sex,menggunakan istilah yang digunakan Simoni de Beauvior.Namun, adalagi corak kekerasan lain yang lebih halus (subtle), yakni kekerasan simbolik dalam bentuk pemanjangan atau display tubuh wanita sebagai objek tontonan untuk memenuhi hasrat laki-laki dan sebagai objek imajinasi serta fantasi seksual laki-laki, atau apa yang disebut Laura Mulvey dalam artikelnya yang cukup terkenal “Visual pleasure and Narrative Cinema” atay sebagai objek “sensual pleasure” laki-laki”.
Sementara,akhir-akhir ini di tanah air, kita juga tengah menyaksikan kebangkitan kembali sensualisme dan erotisme media sebagai kiblat pendukung “jurnalis-me lheer” yang tidak lagi menjadikan seks sebagai bumbu penyedap, tapi malah sudah sebagai menu utama. Media jenis ini memang menjadi ajang display wanita yang suka bupati (buka paha tinggi) dan menyediakan ruang public bagi wanita-wanita bertampang komersial untuk menangguk hidup di pentas etalase kebudayaan pop dengan memamerkan bagian-bagian “sekwilda” (sekitar wilayah dada).
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Semiotika (kadang juga disebut semiologi) adalah disiplin ilmu yang mempelajari tanda (sign).Dalam kehidupan sehari-hari tanda hadir dalam bentuk yang beraneka ragam; bisa berwujud simbol, lambang, kode, ikon, isyarat, sinyal, dsb.Bahkan segala aspek kehidupan ini penuh dengan tanda.Dan dengan sarana tandalah manusia bisa berfikir, tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi.
Dalam perbincangan mengenai semiotika sebagai sebuah ilmu, ada semacam ruang kontradiksi yang secara histories dibangun diantara dua kubu semiotika, yaitu semiotika continental Ferdinand de Saussure dan semiotika amerika Charles Sander Pierce.
Mempelajari semiotika sama dengan kita mempelajari tentang berbagai tanda. Cara kita berpakaian, apa yang kita makan, dan cara kita bersosialisasi sebetulnya juga mengomunikasikan hal-hal mengenai diri kita, dan dengan begitu, dapat kita pelajari sebagai tanda.
Tanda itu sebenarnya bertebaran di mana-mana; di sekujur tubuh kita: ketika kita berkata, ketika kita tersenyum, ketika kita menangis, ketika kita cemberut, dst.



DAFTAR PUSTAKA

Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual (Edisi Revisi). Yogyakarta: Jalasutra.
Ibrahim, Idi Subandi. 2004. Komunikasi Empatik. Bandung : Pustaka Bumi Quraisy
Ebook, 2012.“Pendekatan Semiotika Dalam Pembelajaran Analisis Teks”(online). Tersedia dalamhttp://ebookbrowse.com/gdoc.php?id=279532351&url=b36ebae913e2c42cec4c73b31ad61af4
Ebook, 2012.“Penelitian Seiotika” (online). Tersedia dalamhttp://ebookbrowse.com/makalah-semiotika-pdf-d246195682








0 Response to "Makalah Teori Semiotika"