Makalah Kerangka Etnografi Suku Baduy (Tugas Antropologi)


BAB I
LOKASI, LINGKUNGAN ALAM & DEMOGRAGI (Kependudukan)


1.1         Letak Geografi
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C. Wilayah Baduy Dalam  terletak ditengah perbukitan pegunungan Kendeng, Provinsi Banten, terpencil dan belum terusik oleh kebudayaan luar.
Baduy Dalam menempati sekitar seperempat hingga sepertiga wilayah Baduy. Yang menempati kampung Cibeo, Cikatarwana dan Cikeusik. Baduy Luar menempati areal sisanya yang langsung berbatasan dengan dunia luar, terdapat sekitar 57 kampung adat di wilayah Baduy Luar.

1.2         Ciri-ciri Geologi
Tanah Baduy berbukit-bukit dengan tanah vulkanik yang subur bevegetasi rimbun. Hijau membentang belasan kilometer dari Kampung Kaduketug Baduy Luar di ujung utara hingga Kampung Cikeusik Baduy Dalam di ujung selatan. Dengan total wilayahnya 5.136,58 hektare. “Ini sesuai denganukuran resmi yang disesuaikan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional), termasuk didalamnya luas hutan lindung yang hampir mencapai sepertiganya”, Ayah Murjid (juru bicara komunitas adat Baduy Dalam) menjelaskan. Di sebelah selatan, berbatasan langgsung dengan hutan negara di kawasan inti pegunungan Kendenga yang menuju Banten Selatan.


1.3         Sifat Daerah
Wilayah yang berbukit-bukit, dan berhutan-hutan, dengan memilki lembah yang curam sedang, sampai curam sekali. 
Lingkungan tempat mereka tinggal tidak dijangkau oleh transportasi modern dan terpencil di tengah-tengah bentang alam pegunungan, perbukitan rimbun serta hutan, lengkap dengan sungai dan anak sungai, juga hamparan kebun dan ladang (huma).

1.4         Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk menurut data di Desa Kanekes per Januari 2010 sebanyak 11.172 jiwa. Jumlah penduduk Baduy secara keseluruhan, yaitu komunitas adat Baduy Dalam dan Baduy Luar. Mereka tingggal dalam komunitas adat Baduy Dalam dan Baduy luar.
“Baduy Dalam menempati sekitar seperempat hingga sepertiga wilayah Baduy. Yang menempati kampung Cibeo dihuni sekitar 90 kepala keluarga, Cikatarwana dihuni sekitar 50 kepala keluarga dan Cikeusik dihuni sekitar 60 keluarga. Terhitung terdapat 200 keluarga. Kalau satu keluarga terdiri atas lima orang, berarti seluruhnya berjumlah 1000 orang, berdasarkan sensus terakhir yang dilakukan”, Ayah Mursyid (seorang juru bicara dari suku Baduy Dalam) menerangkan.
Baduy Luar menempati areal sisanya yang langsung berbatasan dengan dunia luar, terdapat sekitar 57 kampung adat Baduy Luar. Rata-rata tiap kampung terdiri atas 45 keluarga. Kalau setiap keluarga berjumlah 4 orang, amak jumlah seluruh warga Baduy Luar sekitar 10.260 orang.
1.5         Angka Kelahiran & Kematian
Program Jaminan Persalinan (jampersal) yang digulirkan pemerintah pusat untuk masyarakat Suku Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, berdampak positif karena dapat mengurangi angka kematian bayi dan ibu. "Kami hingga saat ini hanya menerima laporan meninggal seorang bayi, sedangkan ibu tidak ada, padahal sebelumnya mencapai puluhan bayi dan ibu meninggal," kata bidan Eros Rosita yang bertugas di kawasan Baduy, Sabtu (1/10).
Saat melahirkan ibu yang berasal dari suku Baduy ditangani petugas medis, dan tidak dipungut biaya. Seluruh biaya ditanggung oleh program jampersal, namun pemerintah tidak akan membayar persalinan jika pergi ke dukun beranak.
Sejak Mei 2011 hingga kini persalinan di Baduy melibatkan 22 ibu hamil, dan hanya seorang bayi yang meninggal akibat kelahiran prematur. Selain itu 24 kader di sembilan Posyandu dan menyebar di 56 perkampungan kawasan Baduy cukup membantu petugas medis. Para kader selalu memberitahukan kepada bidan.
Program jampersal di Baduy, selain untuk memudahkan persalinan juga diharapkan dapat menurunkan angka kematian bayi dan ibu. Karena itu, setiap ibu hamil mendapatkan pelayanan pemeriksaan kesehatan, masa nifas, dan proses persalinan.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak Maman Sukirman mengatakan, pihaknya menargetkan angka kematian bayi dan ibu pada 2011 turun. Ia menjelaskan, pemerintah daerah mendapat dana jampersal Rp 5,4 miliar, sehingga pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan. Pelayanan kesehatan di 40 puskesmas saat ini terus dioptimalkan untuk mencegah penyebaran penyakit menular dan promosi kesehatan.


BAB II
ASAL MULA ATAU SEJARAH SUKU BANGSA

2.1         Data Dari Para Ahli Prasejarah Berupa Mitologi atau Dongeng Suci/Folklore
Baduy adalah sebutan untuk satu komunitas adat yang memegang teguh tradisi dan kepercayaan Sunda Wiwitan (kepercayaan Sunda pada masa awal sekali) hingga kini. Dahulu, kebanyakan orang dari masyarakat lain yang bermukim disekelilingnya lebih sering menyebut mereka sebagai Urang Kanekes, atau Orang Kanekes. Sebutan ini menunjuk pada wilayah atau desa tempat tinggal mereka. Sebutan ini mereka anggap kurang pas. Ditegaskan oleh Ayah Mursid, dari Baduy dalam, bahwa Baduy adalah identitas mereka, bukan Kanekes.
Nama Baduy diambil dari nama sungai (anak sungai) yang mengalir di wilayah ini, yaitu sungai Cibaduy. Sungai ini tidak jauh dari bukit yang merreka sebut sebagai Gunung Baduy. Seiring dengan perjalanan waktu, berada ditengah antar pergaulan komunitas masyarakat yang majemuk, mereka dengan mantap dan bangga menyandang sebutan sebagai orang baduy.
Srtuktur masyarakat pada komunitas adat Baduy memiliki keunikan yang sering membuat banyak kalangan heran, yaitu dengan keberadaan dua komunitas dalam satu wilayah adat, yaitu komunitas adat Baduy Luar dan komunitas adat Baduy Dalam. Keduanya sama-sama bagian dari kesatuan komunitas adat Baduy. Sesungguhnya mereka sesama saudara yang tinggal dalam wilayah yang sama, ciri-ciri yang tinggal dalam wilayah yang sama, ciri-ciri fisiknya sama, bahasa yang digunakan sama dan mata pencahariannya pun sama yaitu bertani, berkebun, mengolah hasil hutan dan sesekali menjual hasil buminya keluar Baduy.
Kisah terjadinya dua komunitas yang berbeda ini tidak pernah tercatat dalam dokumen tertulis, namun terekam dalam tutur lisan. Pada mulanya mereka berasal dari komunitas yang sama dengan aturan-aturan adat asli yang sangat ketat. Namun seiring dengan dimanika zaman dan semakin terbukanya isolasi, pergaulan antar-komunitas menjadi jamak. Maka, terjadilah persinggungan dan pencampuran budaya, dan kemudian sebagian warga Baduy mengadopsi secara terbatas budaya luar sampai sekarang ini. Komunitas Baduy Luar kini menjadi mayoritas dalam komunitas adat Baduy keseluruhan.
Sebagai sesama saudara mereka tidak berpisah, namun secara bijak membagi wilayahnya menjadi dua, yaitu kawasan Baduy Luar yang berbatasan langsung dengan dunia luar dan kawasan Baduy Dalam uang “terlindungi” dibagian “dalam” wilayah adat Baduy.
Dengan demikian komunitas Baduy Luar menjalankan fungsinya sebagai benteng sekaligus penyaring terhadap keagresifan budaya luar. Karenanya dalam komunitas Baduy Luar mendapat julukan sebagai Urang Penamping, yang berarti pendamping atau penyaring. Sedang Baduy Dalam biasa dengan sebutan Urang Tangtu, yang berarti yang dulu. Namun dalam percakapan sehari-hari sebutan ini jarang disebutkan.
Persamaan diantara komunitas Baduy Luar dan Baduy Dalam adalah mereka tetap berupaya mempertahankan falsafah dan kesederhanaan hidup ala Baduy, menjaga dan memelihara hidup penuh kedamaian, keluhuran pekerti, perilaku dan etos kerja. Dalam keterpencilannya, mereka berusaha tetap hidup mandiri dalam bingkai keseimbangan bersama alam dan lingkungannya.
2.2  Lisan atau Mouth To Mouth
Menyimak cerita rakyat khususnya di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda.
I.               Berasal dari Kerajaan Pajajaran / Bogor
Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan gelar Prabu Siliwangi.
Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan kerajaan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”. Artinya : jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan“ .
Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo (Baduy Dalam) dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan (baju sangsang), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai di atas lutut, dan sipat penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapir amah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.
II.               Berasal dari Banten Girang/Serang
Menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai , maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan.
Keturunan ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ) dengan Khas sama dengan di kampong Cikeusik yaitu : wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak bicara ( hanya seperlunya ), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih ( blacu ) atau dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua ( diatas lutut ).
III.               Berasala dari Suku Pangawinan (campuran) 
Yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, priangan, Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan cirikhas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak dengan cirri-cirinya ; berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat.
Dari suku Baduy panamping pada tahun 1978 oleh pemerintah diadakan proyek PKMT ( pemukiman kembali masyarakat terasing ) yang lokasinya di kampung Margaluyu dan Cipangembar desa Leuwidamar kecamatan Leuwidamar dan terus dikembangkan oleh pemerintah proyek ini di kampung Kopo I dan II, kampung Sukamulya dan kampung Sukatani desa Jalupangmulya kecamatan Leuwidamar.
Suku Baduy panamping yang telah dimukimkan inilah yang disebut Baduy Muslim, dikarenakan golongan ini telah memeluk agama Islam, bahkan ada yang sudah melaksanakan rukun Islam yang ke 5 yaitu memunaikan ibadah Haji. Kini sebutan bagi suku Baduy terdiri dari:
1)        Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu (Kepuunan) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana. 
2)        Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikatoleh Hukum adat dibawah pimpinan Puuun ( kepala adat ).
3)        Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.
Adapun sebutan suku Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan dari golongan/ kaum Islam yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit di atur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku Baduy.


BAB III
BAHASA

3.1         Ciri-ciri Dialeg & Batas Penyebaran
Provinsi Banten dahulu pernah menjadi wilayah Jawa Barat. Sehingga tidak heran bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa dialek Sunda-Banten. Ciri-ciri dialek mereka dengan menggunakan bahasa sunda yang kasar bagi orang Sunda Jawa Barat, namun bagi orang-orang suku Baduy itu dianggap halus.
Orang Baduy terbiasa berbiacara dengan intonasi, irama dan volume yang terkendali. Hampir tak terdengar teriakan dan suara keras, bahkan ketika mereka memperingati anak-anak yang bertingkah bandel.


BAB IV
SISTEM TEKNOLOGI

4.1         Alat Produksi
1.             Alat Produksi Tenun
Alat produksi tenun terbuat dari bahan-bahan ayng tersedia di wilayah Baduy. Tenunan Baduy memiliki kekhasan dari segi corak dan teknik pembuatannya yang kental dengan kearifan local. Untuk itu warga Baduy Bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Banten Provinsi Banten yang memberikan pelatihan kepada para pengrajin tenun supaya hasil prosuksi bisa optimal dan kualitasnya lebih meningkat. Sebuah selendang yang selesai ditenun dalam waktu satu minggu dijual dengan seharga 35.000 hingga 40.000 rupiah.

2.             Tas Koja
Tas ini terbuat dari kulit kayu tereup (koja), bahan serupa untuk mengobati gatal. Tas ini sering dibawa oleh orang Baduy. Tas koja berfungsi seperti tas pada umumnya, yaitu untuk membawa barang-barang atau alat yang sewaktu-waktu akan digunakan. Tas koja biasanya digunakan oleh warga Baduy untuk membawa barang belanjaan atau alat kebutuhan yang akan digunakan sewaktu perjalanan jauh. Tas koja bisa dikerjakan selama satu minggu dan dijual kepada wisatawan seharga Rp. 25.000 per buah.

Tak hanya itu, Baduy juga identik dengan talekung (ikat kepala) dan gelang. Semuanya hanya bisa kita dapatkan di Baduy. Juga baju hitam dari bahan tenun dan potongan Khas Baduy Luar bissa kita beli di Baduy.


4.2         Wadah

Di baduy juga terdapat wadah-wadah yang hamper semuanya terbuat atau berbahan dari bambu:
1.        Kelek, yaitu ember alami dari bambu yang berfungsi untuk menyimpan atau mengambil air.
2.        Nyiru, tempat yang terbuat dari bambu yang berfungsi untuk membersihkan beras dari sisa-sisa.
3.        Hihid, yaitu kipas yang terbuat dari bambu untuk mendinginkan nasi setelah masak.
4.        Ayakan, yaitu tempat untuk mencuci sayuran atau lainnya yang terbuat dari bambu, bisa juga digunakan untuk menjemur.
5.        Aseupan, yaitu tempat yang terbuat dari bambu, yang berfungsi untuk menanak nasi. Berbentuk kerucut.
6.        Jubung, yaitu tempat untuk meyimpan aseupan saat akan di isi beras dan saat nasi telah masak
7.        Kirwi, yaitu gelas yang terbuat dari bambu.
8.        Wadah runtah, yatiu tempat sampah yang terbuat dari bambu untuk menyimpan sampah sebelum dibakar atau dibuang.
9.        Lodong, salah satu kegiatan wanita suku baduy adalah mencari lahang untuk dijadikan gula aren. Setiap pagi mereka membawa lodong, gelonggong, bambu sepanjang 1 meter, untuk menampung lahang (air nira) dari pohon aren diskitar kampung dan hutan. Setelah terkumpul, digodoklah lahang itu hingga kental sebelum kemudian dicetak menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap jual. 
4.3         Pakaian atau Perhiasan
A.      Pakaian Komunitas Baduy Dalam
Para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilubangi atau dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka pada umumnya serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.. Para prianya mengenakan ikat kepala putih, baju pangsi putih, hitam atau kombinasi hitam putih yang terbuat dari bahan tenun kasar. Bawahannya semacam sarung setinggi lutut. Laki-laki mudanya gemar memakai aksesori gelang atau kalung dari manik-manik warna-warni. Bila bepergian dilengkapi dengan semacam tas kantong kain putih dan  selalu membawa golok sebagai alat kerja yang selalu siap.. Kemana pun mereka pergi, mereka selalu bertelanjang kaki
Busana kaum perempuannya memiliki warna dan bahan yang sama dengan busana pria, tetapi bajunya selalu putih, potongannya sedikit beda. Kain bawahannya sedikit lebih panjang dan berwarna hitam. Aksesoris yang dikenakan sedikit lebih bervariasi, dengan gelang dan cincin dari perak atau keperakan. Dandanan rambutnya kebanyakan hanya diikat atau digelung sederhana. Masyarakat baduy yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih.
B.       Komunitas Baduy Luar

Pakaian mereka lebih bebas, misal dengan baju kaos bahkan celana jins. Perhiasan emas juga amat digemari wanita Baduy Luar. Pakaian adat sehari-harinya dominan warna hitam dengan ikat kepala biru tua bermotif batik, baju komprang dan celana selutut. Perempuannya berkebaya sederhana warna hitam, cokelat tua, biru tua atau keunguan. Bawahannya kain batik yang cukup bervariasi, namun lebih dominan kewarna biru.
Bagi suku baduy luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret. Baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya belah dua sampai kebawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya menggunakan kantong, kancing, dan bahan dasarnya tidak harus dari benang kapas murni. Terlihat dari warna, model dan corak suku baduy luar, menunjukkan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar.
Untuk memenuhi kebutuhan pakainnya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai dari menenam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal, ditenun sampai diclup mnurut motif khasnya.
4.4         Alat Transportasi
Untuk mendukung transportasi warganya di kawasan yang begitu luas dan berbukit-bukit, terdapat labirin jalan setapak atau jalan dengan susunan batu sederhana yang menghubungkan setiap pelosok dan sudut-sudut di seluruh kawasan Baduy. Juga terdapat jembatan-jembatan yang terbuat dari bambu dan akar untuk menyebrangi sungai. Tidak tampak sepotong jalan aspal pun atau jembatan konstruksi baja. Aturan adat tidak mengijinkannya.
Tidak ada kendaraan bermotor di kawasan baduy, bahkan sepeda pun kita tidak akan menemukannya. Ke mana saja, selama masih di dalam wilayah Baduy, kita harus berjalan kaki. Tak heran, warga Baduy tampak sehat dan bugar. Bagi komunitas Baduy Dalam tidak diperbolehkan naik atau mengendarai kendaraan bermotor apa pun. Perjalanan ke mana pun hanya dengan berjalan kaki, sejauh apa pun dan berapa lama pun sedangkan suku baduy luar lebih mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Masyarakat baduy luar telah mengenal alat elektronik seperti televise dan lainya. Juga telah menggunakan alat transportasi umum atau kendaraan.
Bangunan jembatan bambu di atas kali besar merupakan suatu fenomena ”teknologi tradisional” yang spektakuler. Jembatan kayu diatas Sungai Cisujung di Kampung Gajeboh, salah satu perkampungan baduy Luar, terlihat artisitik melintang kokoh menghubungkan kedua sisi jurang sungai di ketinggian sekititar 6 meter dari permukaan sungai. Kemampuan teknologi praktis cukup baik untuk menciptakan kontruksi jembatan alami yang teruji kekuatannya. Semua bahan bangunan ini semuanya menggunakan bambu. Tiang-tiang penyangga dibuat dari bambu besar yang panjang, juga tiang-tiang gantungan jembatan menggunakan bambu. Lantai jembatannya dari bambu yang bulat dan utuh disusun sedemikian rupa seperti rakit, sambung-menyambung dari sisi yang satu ke sisi sungai laninnya. Sebagai pengikatnya orang Baduy menggunakan ijuk yang didapatkan dari pohon enau yang juga banyak tersebar di wilayah hutan dan kebun di Baduy. Ada beberapa jembatan bambu seperti ini di sana, juga terdapat jembatan akar yang dibuat dari rangkaian akar-akar pohon besar dari kedua sisi sungai.
4.5         Senjata
A.      Golok atau Bedog
Persenjataan bagi masyarakat suku baduy merupakan keharusan, karena suku ini suka sekali berkelana dari satu pulau ke pulau lain, dari satu hutan ke hutan yang lain, sehingga dalam sebuah perjalanan tak akan mungkin pemuda baduy tidak mengikut sertakan. Suku baduy hingga kini masih menjaga berbagai elemen adat seperti halnya Bedog.
Ada dua kampung di Baduy Luar yang terkenal pembuatan perkakas tajam, yaitu kampung Batu Beulah dan Cisadane. Kedua kampung ini letaknya tidak berjauhan, dan berada di sebelah Selatan Baduy (Kanekes). Tukang membuat perkakas tajam ini dinamakan Panday Beusi. Yang dibuatnya antara lain Bedog, Kujang, dan Baliung. Kampung yang sangat populer bedognya yaitu dari panday beusi Batu Beulah dan Cisadane. Sejak dahulu kedua kampung yang berdekatan ini sudah terkenal buatan bedognya yang sangat hebat (karena kekuatan, ketajaman, dan pamornya). Bahkan tersebutlah nama seorang panday beusi Daenci (sekarang sudah meninggal dunia) yang terkenal karena kesaktian dan kekuatan bedogknya. Kepopuleran Batu Beulah hingga kini tidak bisa dilepaskan dari nama Daenci. Anak dan cucu Daenci merupakan generasi penerus pembuat bedog Daenci.
Bedog menjadi atribut sehari-hari lelaki Baduy. Ada dua macam Bedog yang dibuat dan digunakan oleh orang Baduy, yaitu bedog polos dan bedog pamor. Bedog polos dibuat dengan proses yang biasa, menggunakan besi baja bekas per pegas kendaraan bermotor yang ditempa berulang-ulang. Bedog ini digunakan oleh orang Baduy untuk menebang pohon, mengambil bambu, dan keperluan lainnya. Bedog Baduy yang telah diyakini kekuatannya yaitu bedog yang berpamor. Bedog pamor memiliki urat-urat atau motif gambaryang menyerupai urat kayu dari pangkal hingga ujung bedog pada kedua permukaannya. Proses pembuatannya lebih lama dan memerlukan pencampuran besi dan baja yang khusus. Kekuatan dan ketajaman bedog pamor melebihi bedog polos biasa, di samping memilikikharisma tersendiri bagi yang menyandangnya.
Bedog buatan orang Baduy-Dalam berbeda dengan buatan orang Baduy-Luar. Secara jelas perbedaannya terletak pada sarangka dan perah-nya, baik yang berpamor maupun tidak. Bedog terbuat dari bahan baja dan besi bekas dari per pegas kendaraan bermotor. Pembuatannya dengan cara menempa besi baja tersebut hingga pipih dan tajam dengan pemanasan api arang.
Rekahias bedog diterakan pada bagian sarangka (wadah) dan perah (pegangan). Motif hiasnya berupa garis-garis yang geometris mengikuti alur dan arah sarangka dan perah tersebut, dengan menggunakan alat pisau pangot, atau pisau raut dan gergaji kecil.
Bahan untuk membuat sarangka ialah kayu Reunghas, dan perahnya dari bahan kayu durenatau kayu jenis lain yang lebih keras. Pengikat atau penguat sarangka digunakan bahantanduk sapi atau kerbau yang telah diraut terlebih dahulu. Tanduk sapi atau kerbau kadang-kadang digunakan pula untuk perah bedog (berdasarkan pesanan).
B.       Kujang
Kujang adalah alat untuk keperluan bercocok tanam di huma, misalnya untuk ngacar, ngored, dan dibuat. Benda seperti ini di daerah sunda yang lain sering dibilang arit, kujang dibuat dari besi dan baja yang ditempa. Alat ini disebut kujang Karena mirip kujang sebagai senjata khas pajajaran dan kini menjadi symbol daerah jawa. Dan alat ini banyak dipergunakan oleh orang baduy dalam, sedangkan bagi orang baduy luar bisanaya menggunakan istilah kored (alat untuk pekerjaan ngored atau membersihkan rerumputan di huma).
C.       Kapak baliung
Baliung adalah alat untuk menebang pohon besar atau sebagai salah satu perkakas untuk membangun rumah. Didaerah lain disebut juga kapak, gagangnya terbuat dari kayu yang agak panjang (30-35cm). tenaga dan daya tekan Baliung harus lebih besar daripada golok, dan arena itu dibuat dari besi baja yang lebih besar dan tebal pada bagian pangkal atau yang tumpulnya.
  
4.6         Makanan & Minuman Khas
Pada acara-acara atau upacara-upacara tradisional adat Baduy biasanya di sajikan berbagai panganan atau makanan tradisional, yaitu:
1.        Rangginang, yaitu makanan yang berbahan dasar ketan, kemudian ketan direndam, kemudian ketan dikukus, kemudian dikarih, setelah itu di kukus kembai dan setelah masak dicetak bulat-bulat tahap terakhir adalah penjemuran. Setelah itu baru rangginang dapat digoreng untuk disajikan.
2.        Wajik, yaitu bahan bakar yang berbahan dasar dari ketan, kemudian ketan direndam, kemudian ketan dikukus, kemudian dikarih, setelah itu de kukus kembai dan setelah masak di pindahkan ke dalam wajan yang berukuran besar dengan api yang besar kemudian diaduk sambil dimasukan gula aren, kelapa. Setelah matang kemudian wajik dibungkus dengan daun jagung, pengemasannya mirip dengan dodol garut.
3.        Dodol, bahan utamanya adalah ketan, kemudian ketan dibersihkan dan dikeringkan, kemudian ketan dihaluskan menjadi tepung, setelah itu dimasukan kedalam wajan besar dengan api yang besar dan disiram dengan dengan air santan, kemudian dimasukkan gula aren. Setelah itu masak pengemasannya sama saja seperti wajik.
4.        Laksa, yaitu semacam mie yang berbahan dasar dari tepung beras.
4.7         Tempat Berlindung atau Rumah
Penduduk baduy tinggal di rumah-rumah panggung, bahan-bahan untuk membuat rumah komunitas Baduy Dalam semuanya serba alami dengan memanfaatkan bahan-bahan dari alam sekitarnya, kayu  untuk tiang dan kerangka utamanya, dindingnya menggunakan anyaman bambu, bambu tali digunakan untuk mengikat tiang-tiang rumah, atapnya dibuat dari daun kirai sedangkan lantainya terbuat dari palupuh. Bahan-bahan untuk membuat rumah komunitas Baduy Luar hampir sama. Namun mendapat beberapa bahan tambahan pabrikan seperti paku, engsel dan slot kunci.
Agar permukaan tanah tidak longsor, di beberapa tempat diberi penahan dari tumbukan batu, demikian pula permukaan tangga dan jalan. Jadi secara umum perkampungan Baduy dibangun dari bahan-bahan alami yang mudah diperoleh dari sekelilingnya dan bersifat ramah lingkungan.
Bangunan penting lainnya adalah tempat menyimpan padi yang disebut leuit. Berbentuk saung dan gaya rumah panggung dengan ukuran kurang lebih 150 cm x 120 cm x 150 cm. sebagian besar leuit memiliki tiang penopang tinggi sehingga untuk mengambil padi memerlukan tangga. Akan tetapi, ada juga yang diletakkan rendah. Yang menarik, disetiap tiang penopangnya dibagian pangkal atas diberi silinder untuk menjaga dari gangguan tikus.
Leuit dibangun agak jauh dari perkampungan, agar jika terjadi musibah kebakaran, leuit tetap aman. Di Kampung Gajeboh sebagian besar Leuit dibangun di lahan seberang sungai. Orang Baduy terbiasa menanak nasi secukupnya. Jika beras habis, mereka menumbuk lagi di saung lisung  (tempat menumbuk padi untuk umum). Mereka tidak memiliki persediaan beras yang banyak di rumahnya.
Terdapat saung khusus untuk lesung panjang, tempat kaum perempuan bersama-sama menumbuk padi. Selain itu juga terdapat rumah atau saung disekitar rumah-rumah warga untuk tempat berbincang sekaligus untuk tempat ronda. Juga terdapa saung-saung di lading untuk menunggui lading.
A.      Rumah Komunitas Baduy Dalam
Rumah orang Baduy Dalam berbentuk segi empat atau persegi panjang. Tinggi lantai rumah pada medan datar sekitar 80-90 cm dari permukaan tanah, menjadi jauh lebih tinggi pada medan tanah yang miring. Teras atau gelodog  dibuat dari jajaran bambu-bambu untuh yang dipasang rapat. Di pojok teras terdapat tempat sampah dari anyaman bambu berbentuk tempat eraman ayam. Di dekat pintu terdapat beberapa bambu, yaitu kelek, untuk wadah air bersih, inilah ember alami Baduy. Karena tinggi untuk naik-turun, rumah terssedia tangga kayu (taraje) khas Baduy Dalam dari kayu bulat atau bambu. Rumah ini sangat unik karena hanya memiliki satu pintu dan selalu menghadap utara atau selatan. Tungku api tempat memasak berada di dalam rumah. Pintu dan lantai rumah  terbuat dari bambu yang dibelah. Mereka menggunakan tali yang berasal dari bamboo untuk mengikat tiang-tiang rumah. Paku tidak digunakan karena aturan adat tidak mengijinkan. Setelah mendirikan rumah, mereka mengadakan syukuran sebagai ungkapan terimakasih kepada Yang Mahakuasa.
Rumah panggung dengan satu pintu memiliki makna yang dalam. Satu pintu melambangkan kesetiaan. Mereka hanya boleh memiliki satu istri. Tidak ada perceraian kecuali kematian yang memisahkan mereka. Hal ini juga yang menyebabkan orang Baduy Dalam enggan menikah dengan orang di luar suku mereka, termasuk dengan orang Baduy Luar karena orang-orang di luar suku mereka menganggap perceraian adalah hal-hal yang sah-sah saja untuk dilakukan. Apabila terjadi pernikahan antara Baduy Luar dengan Baduy Dalam, hukum adat Baduy Dalam  mengharuskan mereka mengikuti adat Baduy Dalam dan harus tinggal bersama mereka. Perceraian merupakan hal yang dilarang adat. Jika terjadi perceraian, mereka harus keluar dari Baduy Dalam. Sanksi tersebut sangat berat bagi mereka.
Masyarakat Baduy Dalam tidak diperbolehkan menghias rumahnya atau pun membuat jendela besar, tetapi hanya berupa lubang-lubang kecil yang disebut lolongok, lolongok disesuaikan untuk mengintip atau melihat keluar dan menyebar di beberapa tempat. Pintunya dibuat dari anyaman bamboo (sarigsig, bahasa Sunda) dan hanya memiliki satu pintu.
Pembagian ruangan amat sederhana, yaitu hanya ada, yaitu hanya ada dua ruang. Yang satu adalah kamar keluarga, cukup besar lengkap dengan perapian atau tungku. Ruang ini adalah ruang utama, lantainya lebih tinggi sekitar 20 cm. yang satunya lagi ruang serbaguna berbentuk L yang disebut tepas, yang dilengkapi seperangkat tungku di pojoknya. Ruang selebihnya untuk duduk-duduk dan ruang yang menyamping bisa untuk tidur kerabat yang masih tinggal serumah atau untuk menyimpan barang-barang. Pembagian maupun fungsinya dibuat sesuai aturan adat Baduy Dalam.


B.       Rumah Komounitas Baduy Luar
Masyarakat Baduy Luar diperbolehkan menghias rumahnya atau pun membuat jendela besar. Oleh karena itu banyak dinding-dinding rumah di Kampung Gajeboh yang dibuat dari anyaman bilik berhias dekoratif. Rumah mereka pun umumnya memiliki jendela. Pintunya berupa pintu panel dari kayu yang dihaluskan. Bahkan beberapa rumah memiliki beberapa pintu.



BAB V
SISTEM MATA PENCAHARIAN

5.1         Berladang
Sekitar bulan Juli, warga Baduy mulai membuka lahan untuk persiapan musim tanam padi. Diawali dengan nyacar, menebang pepohonan dan membabati semak-belukar lahan tidur panjang, beramai-ramai gotong royong bersama kerabat tetangga. Dilanjutkan dengan nyasap, yaitu membakar ranting-ranting dan dedaunan, kemudian memastikan permukaan tanah benar-benar bersih dari tanaman pengganggu.
Sekitar bulan September, acara ngaseuk yaitu menabur benih padi dan tanaman lainnya seperti singkong, jagung, talas, umbi, dan lainnya dengan cara mencocok permukaan tanah dengan dahan kayu yang diruncingi ujungnya. Tidak perlu ditutu tanah lagi, lembabnya malam membuat embun padi dan lainnya tumbuh subur alami. Acara ngseuk di Baduy dilaksanakan per keluarga dan kerabat masing-masing. Acara selametan dapat dilaksanakan bersama, kampung per kampung. Namun tetap pada waktu yang hamper bersamaan.
Sekitar bulan Maret,  merupakan musim panen. Antar keluarga dan tetangga saling membantu karena tuaian cukup luas, apalagi sesuai dengan aturan adat Baduy, padi harus dipotong tangkai demi tangkai dengan alat etem tradisional. Hasilnya terlihat puluh-puluh ikat padi yang disusun memanjang. Sekitar 3-5 hari ditinggal di lading hingga kering untuk diproses atau disimpang di lumbung padi atau leuit.
Sepanjang rangkaian proses, mulai dari kegiatan persiapan lahan untuk ladang atau huma, hingga menabur benih sampai hari-hari panen tiba merupakan rangkaian acara adat di Baduy. Di hampir setiap tahapan selalu diawali dengan upacara pemantraan atau doa khusus yang diatur oleh adat dan tidak boleh diabaikan. Sebelum dipanen, tiga hari berturut-turut setiap sore, Jaya berdoa membaca mantra khusus persis di tengah lading padinya yang siap dituai. Beruntung, penulis sempat menyaksikan pada hari yang ketiga. Esok harinya sekeluarga bersama beberapa kerabat dan tetangga mulai acara panen padi dengan ekspresi penuh gairah dan rasa syukur. Hal ini menandakan bahwa alam dunia pertanian menjadi pokok orientasi kehidupan adat di Baduy. Dengan sendirinya perkara-perkara lain juga mengikuti demi ketenangan batin, ketentraman dan kesejahteraan.
Masyarakat Baduy dalam menerapkan system ladang berpindah-pindah dengan penggarapan secara bergilir. Hukum adat mereka mengatur batas tanah suku Baduy Dalam adalah hak milik seluruh penghuni suku Baduy Dalam. Pengelolaanya dibagi-bagi menurut batas masing-masing-masing keluarga. Mereka dapat menggarap dan mengambil hasil apa pun dari batas tanah tersebut. Hukum yang ada membatasi antara tanah milik suku Baduy dalam dan suku Baduy Luar. Di antara mereka tidak boleh mengambil hasil apa pun selain dari wilayah masing-masing. Warga baduy hanya boleh menanam komoditas asli sesuai tradisi turun temurun.
1.        Jenis padi
Ada beberapa jenis padi yang dimiliki masyarakat baduy. Bahkan iperkirakan terdapat 40 jenis padi yang ditanam dan tumbuh diskitar warrga baduy. Adapun nama-namanya memanglah sangatlah kental dengan bahasa sunda local diantaranya pare koneng, pare salak, pare siang, dan pare ketanan.
2.        Perawatan padi
Berebeda dengan petani kebanyak yang melakukan perawatan padi dengan bahan kimia, suku baduy melakukan perawatan padi dengan menggunakan cara yang tradisional. Biasanya, petani dauy memakai ramuan yang dihasilkan dengan oplosan anka tanaman, cangkudu, tamiang, gempol, pacing tawa, dan lajak. Semua tanaman ini diaduk rata dengan campuran air tuak lalu ditebarkan pada tanaman yang mulai tumbuh dewasa. Ini biasa mereka sebut dengan pestisida alamiah.
3.        Tempat penyimpanan padi
Gudang penyimpanan padi atau lumbung dalam bahasa baduy disebut dengan leuwit. Bahan kerangka pokok bangunan ini dengan anyaman bamboo yang diajadikan dindingnya. Sementara, bagian atapnya ditutup dengan hateuk alias daun kelapa kering atau juga ijuk yang terbuat dari serabut pada pohon areng.jika kita teliti, maka akan ditemukan papan bundar sebagai alas kaki kaki lumbung. Gunanya sebagai anti hama, misanya tikus.
5.2     Berkebun
Dari kampung-kampung Baduy setiap hari keluar berkuintal-kuintal pisang, petai dan durian (kalau sedang musimnya), gula aren dan komoditas hasil kebun lainnya. Hasil-hasil pertanian itu mengalir ke desa-desa sekitar, bahkan sampai ke Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Dengan cara itulah orang-orang Baduy mendapat uang tunai.
Durian atau kadu dalam bahasa setempat. Durian merupakan tanaman kebun yang cukup dominan di seluruh tanah Baduy, sampai-sampai dipakai nama kampung, antara lain Kaduketug, Kadujangkung, Kadugede, Kaduketer dan Kadukohak. Karena itu pada musimnya, baduy merupakan pemasok durian yang cukup besar bagi pasar kota.
·           Menjual Hasil Karajinan
Masyarakat baduy memang dikenal dengan masyarakat madani. Dengan berprinsip hidup dari apa yang ada dialam mereka pun berusaha segala kebutuhannya dengan caranya sendiri tanpa banyak bergantung pada orang lain. Secara tidak langsung, hal ini memaksa mereka untuk berkreasi menciptakan sesuatu guna memenuhi kebutuhan hidup.
·           Menjual Buah-buahan
Suku Baduy juga menjuual buah-buahan yang mereka dpatkan di hutan. Selain itu sebagai tanda kepatuhan atau pengakuan kepada pengusaha, masyarakat kenakes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu gubernur banten. Dari hal tersebut tercipta interaksi yang erta antara masyarakat baduy dengan penduduk luar.
5.3    Beternak
Aturan adat Baduy membatasi kegiatan ekonomi yang boleh dilakukan warganya, misalnya yang menyangkut dunia pertanian juga beternak. Adat baduy hanya memperbolehkan masyarakatnya untuk beternak ayam. Perdagangan system kulakan dan dijual kembali demi keuntungan juga dilarang. Namun, arus dan dinamika zaman yang juga menyentuh masyarakat Baduy menyebabkan terjadinya penyesuaian secara terbatas. “karena orang Baduy juga gemar menikmati kopi dan membutuhkan kayu jengjeng buat bangunan rumanya, sekarang sebagian orang Baduy juga menanam tanaman itu karena lahan tersedia,” tutur Emen.
Uang hasil dari penjualan itulah yang dipakai untuk dibelikan barang yang mereka tidak hasilkan sendiri seperti minyak tanah, garam, ikan asin dan rokok. Tak banyak barang yang mereka beli karena memang tidak sesuai dengan aturan adat.
Orang Baduy mempunyai prinsip, selama mempunyai orang mereka tidak akan mengonsumsi padi hasil mereka sendiri, tapi membeli dari luar, karena ada kekhawatiran akan datangnya musim paceklik atau kurangnya pasokan, kecuali dikonsumsi untuk upacara adat atau memang sangat diperlukan. Begitu juga dengan garam, ada yang menyimpnnya sampai bertahun-tahun lamanya.
·           Baduy Luar
Para penduduk asli setempat yang aslinya berprofesi sebagai petani, kini merangkap menjadi pedagang dan pengrajin cindera mata, menggelar dagangannya diteras (golodog, bahasa sunda) rumahnya masing-masing. Mereka menjual barang khas Baduy yang terbuat dari bahan-bahan alami seperti buah cariu, batok kelapa, rotan, kulit kayu dan masih banyak lagi. Kerajinan khas Baduy adalah tas berbahan dari kulit kayu teureup yang disebut jarog dan koja. Baduy pun terkenal dengan kerajinan kain tenunya yang bahan bakunya yaitu benang (kanteh, bahasa sunda) yang diperoleh dari luar namun proses pencelupan dan pembuatan dilakukan sendiri.


BAB VI
ORGANISASI SOSIAL
6.1         Sistem Pembagian Kerja
Suku baduy dalam kesehariannya menjungjung tinggi prinsip gotong-royong dalam pekerjaan apa pun baik itu dikalangan laki-laki maupun perempuan. Misalnya kaum laki-laki bergotong royong untuk merenovasi rumah dan kaum perempuannya bergotong-royong menumbuk padi dalam lesung panjang.
Pembagian kerja dan peran dalam keluarga antara kaum laki-laki dan perempuan yang terlihat amat seimbang. Masing-masing menunjukan sisi tanggung jawabnya dengan penuh keikhlasan. Tampil berdampingan dalam kesetaraan sesuai kodrat alaminya. Laki-laki, perempuan, tua-muda, remaja dan anak-anak.
Mulai umur 10 tahun, anak-anak Baduy baik laki-laki atau perempuan wajib belajar dan berlatih mengerjakan apa saja, membantu dan mencontoh orangtuanya. Bekerja, Belajar, dan bermain dilakukan berbarengan. Ini sesuatu yang mengasyikan dan menyibukan anak-anak baduy. Tempatnya bisa dimana saja, bisa dirumah, saung, ladang atau kebun.
Misalnya, beberapa remaja Baduy Dalam turun ke Ciboleger, masing-masing memikul beberapa tandan pisang dan beberapa ikat petai yang lumayan berat untuk dijual. Begitu juga pekerjaan yang kadang dilakukan oleh remaja-remaja Baduy Luar. Bahkan bagi perempuannya pun terkadang mereka memikul kayu bakar untuk dibawa ke rumah
6.2         Sistem Kekerabatan
Sesuai aturan Baduy Dalam, pasangan dijodohkan oleh para orangtua dan tetua adat. Jadi para laki-laki muda dan para gadis Baduy Dalam tidak bebas memilih jodonya sendiri. Dan sekali menikah tidak boleh cerai sampai mati. Sementara di Baduy Luar perjodohan pemuda-pemudinya bisa melalui pendekatan dan saling taksir.
Ada syarat-syarat adat sebelum seorang pemuda layak menikahi seorang gadis, yang utama adalah sudah cukup umur dan mampu bertani alias mengenal dan menguasai cara mengolah tanah atau ladang dari awal hingga panen padi. Selain itu harus mampu dan terampil membuat peralatan rumah tangga serta mengerti cara merawat rumah. Pendeknya, siap untuk hidup mandiri. Hasil pekerjaanya sementara dapat dititipkan pada orangtua keluarga induk.
Setelah sang pemuda benar-benar siap, antara keluarga dan tetua adat berembuk untuk menentukan jodoh bagi si pemuda dan si pemudi. Prosesnya cukup panjang, membutuhkan rentang waktu dua tahhunan dan melalui tiga tahap lamaran. Hal ini dimaksudkan sebagai proses pematangan dan ujian. Umumnya proses ini berjalan baik. Pada tahap terakhir mereka akan menentukan kapanpasangan tersebut dinikahkan. Janji untuk setia dan untuk bertanggung jawab terhadap keluarga diucapkan oleh pengantin pria. Setelah menikah, sebelum mereka memiliki rumah sendiri, mereka tinggal menumpang di rumah keluarga salah satu pihak orangtua.
Orang dan para tetua adat mulai memikirkan jodoh para pemuda dan pemudi dayak sejak berumur sepuluh tahun. Satu bulan sebelum menikah, kedua calon pengantin baru dipertemukan. Calon pengantin pria bekerja di ladang calon mertua selama tiga hari sebelum pernikahan.
Mereka hanya boleh memiliki satu istri. Tidak ada perceraian kecuali kematian yang memisahkan mereka. Hal ini juga yang menyebabkan orang Baduy Dalam enggan menikah dengan orang di luar suku mereka, termasuk dengan orang Baduy Luar karena orang-orang di luar suku mereka menganggap perceraian adalah hal-hal yang sah-sah saja untuk dilakukan. Apabila terjadi pernikahan antara Baduy Luar dengan Baduy Dalam, hukum adat Baduy Dalam  mengharuskan mereka mengikuti adat Baduy Dalam dan harus tinggal bersama mereka. Perceraian merupakan hal yang dilarang adat. Jika terjadi perceraian, mereka harus keluar dari Baduy Dalam. Sanksi tersebut sangat berat bagi mereka.
Dalam perkara warisan, suku baduy lebih menganut model masyarakat patrilineal yatiu anak laki-laki mewarisi bagian harta lebih besar ketimbang anak perempuan. Sebenarnya sama, warisan untuk anak laki-laki maupun anak perempuan. Bedanya anak laki-laki mewarisi tanggung jawab lebih besar untuk memelihara aturan adat Baduy. Hal ini menunjukan bahwa penghormatan terhadap kedudukan peran kaum perempuan dimasyarakat Baduy Dalam Sangat baik.
6.3         Sistem Kepemimpinan
Kepala adat Baduy sekaligus ulama atau imam kepercayaan Sunda Wiwitan di sebut “Puun”. Jumlahnya tiga orang. Mereka tinggal di wilayah Baduy dalam yang sakral, yaitu kampong Cibeo, Cikeusik dan Cikatarwana. Mereka menjalankan fungsi sebagai pemimpin spiritual tertinggi bagi seluruh komunitas adat Baduy, baik dalam maupun luar. Faat dari para Puun inilah yang membuat Tanah Baduy hingga sekarang masih relative bebas dari segala pengaruh budaya luar. Namun tidak begitu banyak peraturan bagi komunitas adat Baduy Luar. Contohnya seperti seperti listrik & jalan beraspal yang ditabukan di tanah Baduy. Aturan adat Baduy pun membatasi kegiatan ekonomi yang dilakukan warganya, misalnya yang menyangkut dunia pertanian. Warga baduy hanya boleh menanam komoditas asli sesuai tradisi turun-temurun. Karena semua itu dianggap akan mempengaruhi budaya Baduy yang telah ada.
6.4         Lapisan Sosial
Mereka juga memiliki ukuran atau standar untuk menunjukkan status ekonominya. Status ukuran ekonomi seseorang ditunjukkan dengan kepemilikan terhadap padi, hasil bumi, ayam dan lembaran kain yang tersimpan di lemari mereka. Semakin banyak kepemilikan mereka terhadap barang-barang tersebut, mereka semakin dianggap kaya.


BAB VII
SISTEM PENGETAHUAN
7.1         Alam Sekitarnya Termasuk Flora & Fauna di Daerah Sekitarnya
Bambu  merupakan teman hidup masyarakat Baduy. Bambu dengan segala kelebihannya telah menyediakan dirinya menjadi bahan baku bagi hamper seluruh kehidupan manusia. Mulai dari akar, hingga pucuk dan daunnya. Akar bambu sering dipakai sebagai bahan ramuan obat, pucuk (rebung) tunahnya dibuat sayuran dan bambu dewasa untuk bermacam keperluan bangunan. Bahkan tanah bekas rumpun bambu adalah bagian tanah yang amat subur untuk berladang.
Bambu juga merupakan bahan utama bagi suku Baduy untuk membuat bangunan. Bambu dapat digunakan menjadi lumbung padi, tempat jemuran padi yang baru dipenen, peralatan wadah, rumah, saluran air, dan jembatan di atas sungai atau jurang. Format bambu yang lurus dan panjang tanpa cabang, berlubang tengah, beruas dan berbuku kokoh, tersedia dalam berbagai ukuran dan berbagai kelebihan tumbuhan bambu telah menjadikannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Baduy.
Pemilihan jenis bambu menentukan aplikasinya dengan perhitungan kualitas, keluwesan, kelenturan, ketahanan terhadap kondisi cuaca, permukaan dan sebaginya, disamping tebtu saja ukuran panjang dan diameternya. Di Baduy terdapat 4 jenis bambu, bambu yang utama yaitu bambu apus, bambu gede, bambu mayam dan bambu hitam.
Bambu apus, walau kecil namun seratnya halus dan luwes karenanya paling bagus untuk membuat tali, anyaman, dinding, juga usuk. Bambu mayam juga begus untuk membuat dinding anyaman, diameternya lebih besar namun tumbunya mengerucut (mengecil) keatas sehingga kurang ideal untuk tiang, tetapi rasa rebungnya lebih enak untuk dijadikan masakan.
Bambu gede sesuai dengan namanya, diameternya paling besar, juga lebih rata memanjang, jadi ideal untuk membuat lantai palupuh, tiang dna kontruksi jembatan. Bambu hitam atau istilah setempatnya awi hideung, disamping ukuran maupun kualitasnya yang ideal, warnanya yang hitam keunguan menjadi kombinasi ideal pembentuk pola seni bagi berbagai peralatan dan anyaman dinding.
“Disamping umur tanaman, waktu menebang juga menentukan kualitas dan keawetan bambu, lebih siang, lebih baik, karena kandungan air pada bambu mencapai titik terendah”, Angling yang ahli membangun rumah Baduy menjelaskan.
Lokasi kampung di Baduy bisa pindah karena beberapa alasan. Kampung Cicakal pernah mengalami kebakaran habis sampai dua kali sebelum pindah ke lokasinya sekarang ini. Konon kampung Cibeo, Baduy Dalam, pindah ke lokasinya yang ideal sekarang karena dulu terletak pada medan yang terlalu curam dan sempit untuk bisa menampung perkembangan yang terjadi. “Sudah barang tentu memindahkan lokasi kampung harus dengan pertimbangan masak sesuai tata lahan yang ada dan menurut aturan adat yang berlaku. Tidak boleh asal saja, “Emen menjelaskan.
7.2         Sifat Manusia
Rombongan orang luar lebih dari sepuluh orang tidak boleh melewati jalur hutan lindung. Demi menjaga ketenangan. Karena biasanya rombongan suka bikin suara ribut dan susah diatur.
Terdapat sedikit perbedaan dengan beberapa kampung yang biasa dilewati. Warganya sedikit lebih terbuka dan lebih terbiasa berkomunikasi, berbasa-basi dengan orang luar. Misal Kampung Kaduketug, Gajeboh, Cicakal bahkan Cibeo, Baduy Dalam. Kebetulan kampung-kampung ini memiliki daya tarik khas. Kaduketug sebagai “gerbang” wilayah Baduy, Gajeboh paling sering dikunjungi orang luar karena jalurnya mudah dan persis di tepi Sungai Ciujung dengan jembatan bambunya yang alami. Rumah-rumah menghadap sungai, sekalian untuk menginap. Dan banyak perajin tenun disini, yang menjadi daya tarik tersendiri. Kampung Cicakal dengan kemiringan 45 derajat, juga di tepi Sungai Ciujung, susunan rumah-rumahnya tampak artistik dipandang dari bukit seberangnya. Terdapat perajin golok khas Baduy di kampung ini.
7.3         Ruang & Waktu
Sistem penanggalan masyarakat Baduy Dalam cukup unik. System kalender mereka berbeda dengan system kalender Masehi maupun kalender Islam, dan tidak pernah tertulis. Dengan demikian bagi kita sebagai masyarakat luar Baduy agak sulit mendapa informasi trentang waktu pelaksanaan rangkaian adat Ngawalu secara jelas dan tepat. Tetapai dapat dibaca bahwa kronologi proses pertumbuhan padi sebagai symbol turunnya berkah benar-benar dirayakan. Dari sini penetapan bulan dan harinya berpatokan musim tanam dan panen padi. Misal, saat tanaman padi mulai bunting dan berbunga menandai datangnya bulan-bulan Kawalu. Perhitungan yang cermat berkenaan dengan siklus pertanian menjadi penentu system kalender Baduy. Setahun dibagi menjadi 12 bulan. Jumlah hari dalam setiap bulan sekitar 30 hari, namun tanggalnya bisa bergeser maju atau mundur sedikit dari hitungan kalender Masehi. Nama bulannya adalah Sapar, Kalima, Kaenam, Kapitu, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapitlemah, Hapitkayu, Karsa (Kawalu tembay), Karo (Kawalu tengah), dan Ketiga (Kawalu tutug). System kalender ini diikuti oleh seluruh komunitas Baduy, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar.


BAB VIII
SISTEM RELIGI
8.1         Upacara Kebudayaan
A.      Hari Raya Kawalu
Sesuai hitungan kalender adat, terdapat hari raya Kawalu, merupakan hari raya paling utama bagi komunitas adat Baduy Dalam, dan berlaku juga bagi Baduy Luar. Perayaan hari raya ini biasa disebut Ngawalu yang dilaksanakan pada bulan-bulan Kawalu, berlangsung selama tiga bulan, kira-kira jatuh sekitar akhir Desember samapai Maret pada kalender masehi. Secara kronologis kawalu terbagi menjadi tiga, yaitu bulan Kawalu Tembay (awal), Kawalu Tengah dan Kawalu Tutug (besar atau penutup). Bulan-bulan kawalu merupakan tiga bulan yang dihormati dan disyukuri, ditandai saat padi muali berbunga, seterusnya hingga pada masa panen usai. Rangkaian upacara adat Ngawalu yang ditutup dengan Ngalaksa dilaksanakan pada kurun waktu ini. Ini merupakan rangkaian acara-acara syukuran dan peringatan terhadap pesan-pesan leluhur yang harus dipegang tehuharus dipegang teguh. Semua ini demi kelestarian adat dan kontinuitas berkar kesejahteraan bagi seluruh warga Badui turun-temurun. Laku puasa sehari setiap bulan (3 bulan masa Kawalu) mengiringi acara ini. Pelaksanaanya diserahkan kepada warga dan keluarga masing-masing.
Terdapat pula upacara adat Nganyaran yang dilakukan masing-masing keluarga. Yaitu doa syukur khusus bagi hasil panen padi sebelum dikonsumsi. Menurutnya kepercayaannya acara-acara adat seperti ini tidak boleh dilanggar demi keselamatan dan kesejahteraan hidup. Pada masa Kawalu ini, pada hari-hari yang ditentukan diselenggarakan acara besar yaitu menumbuk padi perdana secara bersama, diikuti dan dihadiri oleh semua utusan komunitas adat Baduy. Biasanya dipusatkan di Cibeo, Baduy Dalam. Sebagian beras yang dihasilkan kemudian dibuat tepung dan setelah didoakan tepung dibagi-bagikan ke seluruh wilayah adat Baduy. Tepung inilah pada acara berikutnya yaitu Ngalaksa, menjadi bahan membuat laksa (semacam mie yang terbuat dari tepung beras), untuk seterusnya dibagikan merata kepada seluruh warga Baduy tak terkecuali anak-anak. Acara ini merupakan penggenapan dari ritual adat simbolis sebagai doa syukur atas berkah kesejahteraan dan keselamatan seluruh komunitas adat Baduy.
Selama acara adat ini berlangsung, khusunya pada hari-hari puncak acara kada Kawalu, kawasan Baduy terutama Baduy Luar tertutup bagi semuaa jenis kunjungan wisata rombongan besar, kecuali kunjungan beberapa individu yang sudah mereka kenal. Aturan itu untuk menghormati dan menjaga kesyakralan bulan-bulan Kawalu, juga untuk menghormati para leluhur.
B.       Perkawinan
Upacara pernikahan dilakukan didepan tetua adat, para orang tua dan saksi dengan mengucapkan jandi setia untuk hidup bertanggung jawab, rajin bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Acara ini disertai doa-doa oleh penghulu adat khusus dan dimeriahkan dengan pesta sesuai kebiasaan ini disertai doa-doa oleh penghulu adat khusus dan dimeriahkan dengan pesta sesuai kebiasaan adat. Yaitu dengan diiringi musik gamelan lengkap dan pesta makan.
Perkawinan, dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.
Dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari tentunya masyarakat baduy disesuaikan dengan penanggalan:

1)             Bulan Kasa
2)             Bulan Karo
3)             Bulan Katilu
4)             Bulan Sapar
5)      Bulan Kalima
6)      Bulan Kaanem
7)      Bulan Kapitu
8)      Bulan Kadalapan
9)      Bulan Kasalapan
10)  Bulan Kasapuluh
11)  Bulan Hapid Lemah
12)  Bulan Hapid Kayu


C.       Khitanan Massal
Khitanan massal merupakan salah satu acara adat terbesar dan termeriah bagi suku Baduy Dalam. Dalam pesta ini mereka memotong puluha ekor ayam untuk acara pesta syukuran. Kalau kita mengunjungai suku Baduy Dalam dan bertepatan pada acara ini, kita dapat makan ayam sepuasnnya. Yang khas Baduy dari acara ini adalah dibangunnya temapat khusu yaitu saung Papajangan atau saung Pasajean di halaman kampung. Ukurannya sekitar 4 m x 4 m dengan tinggi lantai saung sekitar 1,5 m. tingginya lantai ini merupakan symbol dari harapan tinggi bagi anak-anak agar kelak hidupnya mulia dan sejahtera. Semalam sebelum hari-H, anak-anak yang akan disunat tidur di saung ini dan diiringi pantun atu doa-doa yang dilantunkan oleh pelantun khusus. Esoknya, khitanan dilaksanakan di taraje atau tangga saung yang terbuat dari bamboo. Baru kemudian anak-anak yang dikhitan dibawa keluarga masing-masing ke rumahnya untuk acara pesta. Suasana sungguh meriah karena beberapa keluarga mengadakan pesta pada saat yang bersamaan. Pesta (istilah setempatnya sedekah) berarti saling berbagi berkah dengan kerabat, tetangga, kenalan terdekat yang berdatangan dan menjadi kehormatan bagi tuan rumah. Pada acara ini biasa disajikan berbagai penganan tradisional seperti rangginang, dodol, jipang dan sebagainya.
Dengan kesibukan yang sama seriusnya di Baduy Luar dalam menyiapkan acara khitanan, bisa diduga bahwa acara ini memiliki skala yang sama untuk komunitas Baduy Luar. Mereka melakukan beberapa kali rapat “panitia”. Kaum laki-laki bergotong-royong menyiapkan kayu bakar, kemudian bersama kaum perempuannya beramai-ramai sekampung memasak penganan sebagai bagian dari bahan hantaran buat undangan sekaligus permohonan izin dan doa restu dari lurah dan para tetua adat (kakolot). Mereka juga mengundang secara khusus pembawa dan petugas acara, antara lain dukun sunat dari Baduy Dalam dan apntun atau pelantun doa. Acara ini sama pentingnya karena acara adat ini berasal dari leluhur. Untuk memeriahkan acara ini biasa dimainkan musik gamelan lengkap.

D.      Upacara Adat Cukuran
Sesuai kepercayaan adat, sesuatu yang bersifat awal atau pertama dalam kehidupan merupakan peristiwa sacral, dan selayaknya dimintakan berkat sekaligus disyukuri dengan satu upacara khusus. Demikianlah, upacara adat cukuran tergolong upacara adat pertama di Baduy, karena menyangkut upacara kehadiran anak setelah lahir dan tumbunh hingga usia sekitar 1-2 tahun. Pada upacara ini, secara simbolis hanya dipotong dua helai rambut saja, dan oleh pemimpin upacara adat atau sang dukun, dinaikkan doa-doa yang menyertainya, dimohonkan berekat dan segala harapan mulia, agar mereka selamat menjadi anak-anak yang tumbuh sehat dan cakap, semakin dewasa menjadi anak yang mencintai dan menghormati orang tua, keluarga, sesame dan lingkungannya, hingga kelak mampu mandiri sebagai manusia yang berguna.
Secara simbolik upacara ini menandai sahnya seorang anak hadir di dunia menjadi manusia yang diberkati dan direstui oleh Sang Penguasa Kehidupan. Juga sah menyandang nama yang mengikat secara simbolik, menjadi kewajiban orangtuanya untuk membesarkan anaknya dengan penuh kasih saying dan tanggung jawab. Upacara adat sacral ini diselenggarakan di Baduy Dalam, demikian juga di Baduy Luar.
E.       Upacara Kelahiran
Kelahiran yang dilakukan melalui urutan kegiatan yaitu:
1)      Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
2)      Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
3)      Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.
4)      Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
5)      Akikah yaiotu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun
(kokolot) yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.
Seperti yang telah diuraikan diatas, apabila ada masyarakat baduy yang melanggar asalah satu pantangan maka akan dikenai hukuman berupa diasingkan ke hulu atau dipenjara oleh pihak polisi byang berwajib.
8.2         Sistem Keyakinan
Komunitas adat Baduy Dalam memegang teguh tradisi dan kepercayaan Sunda Wiwitan (kepercayaan Sunda pada masa awal sekali) hingga kini.Pada upacara adat khusus, warga Baduy Dalam berkomunikasi dengan Yang Mahakuasa dengan cara membakar kemenyan. Kemenyan yang dibakar mnjadi media kontak batin dengan Yang Mahakuasa. Mereka melakukan upacara-upacara aadat sebagai wujud sikap hormat dan terimakasih kepada Yang Mahakuasa. Orang-orang Baduy Dalam juga percaya adanya kehidupan setelah mati, percaya bahwa surga dan neraka itu ada. Wujud dan kepercayaan itu terlihat dalam tingkah laku dan perbuatan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menjungjung tinggi prinsip-prinsip kejujuran dan kedamaian, senantiasa berbuat jujur, ikhlas, menjauhi rasa iri, benci dan rasa-rasa lain yang dapat merusak kesucian jiwa. Prinsip-prinsip ajaran ini juga menjadi pegangan hidup bagi seluruh warga Baduy.
8.3         Tempat Upacara Keagamaan
A.      Hari Raya KawaluPada masa Kawalu ini, pada hari-hari yang ditentukan diselenggarakan acara besar yaitu menumbuk padi perdana secara bersama, diikuti dan dihadiri oleh semua utusan komunitas adat Baduy. Biasanya dipusatkan di Cibeo, Baduy Dalam.
B.       Perkawinan
Upacara adat pernikahan di Baduy Dalam biasanya diselenggarakan di halaman rumah dan pernikahan disaksikan tetua adat, para orang tua dan penduduk sekitar dengan mengucapkan jandi setia untuk hidup bertanggung jawab, rajin bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
C.       Khitanan Massal
Upacara adat ini dilaksanakan di temapat khusu yaitu saung Papajangan atau saung Pasajean di halaman kampung yang sengaja dibangun secara mendadak. Ukurannya sekitar 4 m x 4 m dengan tinggi lantai saung sekitar 1,5 m. tingginya lantai ini merupakan symbol dari harapan tinggi bagi anak-anak agar kelak hidupnya mulia dan sejahtera.
D.      Upacara Adat Cukuran
Upacara adat ini dilaksanakan di tengah-tengah kampung yang disebut dengan alun-alun atau dalam bahasa sekitar Baduy dikenal dengan sebutan buruhan.


BAB IX
KESENIAN

9.1         Seni Musik
Baduy memiliki lagu daerah yang berjudul cikarileu dan kidung atau pantun yang biasa digunakkan dalam acara pernikahan adat Baduy. Baduy pun memiliki alat alat music tradisional, antara lain:
A.      Calintu
Calintu adalah salah satu alat musik khas Baduy Dalam namun terdapat juga di daerah Baduy Luar yang dipasang di ladang. Tujuannya adalah untuk menghibur padi yang baru ditanam hingga menjelang panen.
Ada cerita tersendiri mengenai musik tradisional dari Baduy ini. Suara instrumennya seperti ketika menonton film tentang Tibet. “Nguuu..ng..” nada itu berbunyi panjang dan berulang-ulang. Ternyata suara itu terbuat dari bambu yang diikatkan dipohon. Bambu itu masih utuh dari pangkal hingga pucuk. Disetiap ruas, ada lubang yang dibuat berukuran sama. Ketika angin berembus ke arah bambu itu, maka bambu itu akan mengeluarkan bunyinya.
B.       Rebab Baduy
Rebab Baduy berbentuk mirip dengan biola diatonic, tetapi lebih sederhana dan bertangga nada pentatonic, tangga nada yang sama dengan nada gamelan. Rebab buatan Baduy ini berbeda dengan rebab yang ada pada musik tradisional Jawa, Sunda atau Cina.

C.       Angklung Buhun

Kesenian angklung buhun merupakan merupakan kesenian angklung khas kabupaten Lebak dengan peralatan perkusi dari bamboo yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menimbulkan nada-nada yang harmonis. Angklung nuhun berarti angklung tua, dulu yang dalam arti sebenarnya adalah kesenian pusaka. Dinamakan buhun karena karena kesenian ini lahir bersamaan dengan kelahiran masyarakat baduy. Di Baduy musik angklung hanya dimainkan pada saat upacara sakral. Pertama, saat acara adat tanam padi Serang yang lebih sering diadakan di Cibeo, juga disebut sebagai pembukaan angklung. Kedua, di masing-masing kampung di tengah malam, mengiringi pembuatan “bubur ti’is” (perangkat upacara doa bagi tanaman padi diladang.


DAFTAR PUSTAKA


Erwinantu. 2012. “Saba Baduy”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Khomsan Ali, dkk. 2009. “Sosio-Budaya Pangan Suku Baduy” (online). Tersedia dalam:http://journal.ipb.ac.id/index.php/jgizipangan/article/viewFile/4522/3025
Bengjay. 2009. “Asal Usul baduy” (online). Tersedia dalam http://id.shvoong.com/social-sciences/1925540-asal-usul-suku-baduy/

Batavusqu. 2011. “Bedog dan Beliung senjata Baduy” (online). Tersedia dalam: http://zipoer7.wordpress.com/2011/05/08/bedog-dan-baliung-senjata-baduy/

0 Response to "Makalah Kerangka Etnografi Suku Baduy (Tugas Antropologi)"