BAB I
LOKASI, LINGKUNGAN ALAM & DEMOGRAGI (Kependudukan)
1.1
Letak Geografi
Wilayah Kanekes secara geografis terletak
pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana,
2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar
40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan
Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut
mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata
mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan
(di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata
20°C. Wilayah Baduy Dalam terletak ditengah perbukitan pegunungan
Kendeng, Provinsi Banten, terpencil dan belum terusik oleh kebudayaan luar.
Baduy Dalam menempati sekitar seperempat hingga sepertiga wilayah Baduy.
Yang menempati kampung Cibeo, Cikatarwana dan Cikeusik. Baduy Luar menempati areal sisanya yang langsung
berbatasan dengan dunia luar, terdapat sekitar 57 kampung adat di wilayah Baduy
Luar.
1.2
Ciri-ciri
Geologi
Tanah Baduy berbukit-bukit dengan tanah vulkanik yang subur bevegetasi
rimbun. Hijau membentang belasan kilometer dari Kampung Kaduketug Baduy Luar di
ujung utara hingga Kampung Cikeusik Baduy Dalam di ujung selatan. Dengan total
wilayahnya 5.136,58 hektare. “Ini sesuai denganukuran resmi yang disesuaikan
oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional), termasuk didalamnya luas hutan lindung
yang hampir mencapai sepertiganya”, Ayah Murjid (juru bicara komunitas adat
Baduy Dalam) menjelaskan. Di sebelah selatan, berbatasan langgsung dengan hutan
negara di kawasan inti pegunungan Kendenga yang menuju Banten Selatan.
1.3
Sifat Daerah
Wilayah yang berbukit-bukit, dan berhutan-hutan, dengan
memilki lembah yang curam sedang, sampai curam sekali.
Lingkungan
tempat mereka tinggal tidak dijangkau oleh transportasi modern dan terpencil di
tengah-tengah bentang alam pegunungan, perbukitan rimbun serta hutan, lengkap
dengan sungai dan anak sungai, juga hamparan kebun dan ladang (huma).
1.4
Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk menurut data di Desa Kanekes per Januari 2010 sebanyak
11.172 jiwa. Jumlah penduduk Baduy secara keseluruhan, yaitu komunitas adat Baduy Dalam
dan Baduy Luar. Mereka tingggal dalam komunitas adat Baduy Dalam dan Baduy
luar.
“Baduy Dalam
menempati sekitar seperempat hingga sepertiga wilayah Baduy. Yang menempati
kampung Cibeo dihuni sekitar 90 kepala keluarga, Cikatarwana dihuni sekitar 50
kepala keluarga dan Cikeusik dihuni sekitar 60 keluarga. Terhitung terdapat 200
keluarga. Kalau satu keluarga terdiri atas lima orang, berarti seluruhnya
berjumlah 1000 orang, berdasarkan sensus terakhir yang dilakukan”, Ayah Mursyid
(seorang juru bicara dari suku Baduy Dalam) menerangkan.
Baduy Luar menempati areal sisanya yang
langsung berbatasan dengan dunia luar, terdapat sekitar 57 kampung adat Baduy
Luar. Rata-rata tiap kampung terdiri atas 45 keluarga. Kalau setiap keluarga berjumlah
4 orang, amak jumlah seluruh warga Baduy Luar sekitar 10.260 orang.
1.5
Angka Kelahiran & Kematian
Program
Jaminan Persalinan (jampersal) yang digulirkan pemerintah pusat untuk
masyarakat Suku Baduy di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, berdampak
positif karena dapat mengurangi angka kematian bayi dan ibu. "Kami hingga
saat ini hanya menerima laporan meninggal seorang bayi, sedangkan ibu tidak
ada, padahal sebelumnya mencapai puluhan bayi dan ibu meninggal," kata
bidan Eros Rosita yang bertugas di kawasan Baduy, Sabtu (1/10).
Saat
melahirkan ibu yang berasal dari suku Baduy ditangani petugas medis, dan tidak
dipungut biaya. Seluruh biaya ditanggung oleh program jampersal, namun
pemerintah tidak akan membayar persalinan jika pergi ke dukun beranak.
Sejak Mei 2011
hingga kini persalinan di Baduy melibatkan 22 ibu hamil, dan hanya seorang bayi
yang meninggal akibat kelahiran prematur. Selain itu 24 kader di sembilan
Posyandu dan menyebar di 56 perkampungan kawasan Baduy cukup membantu petugas
medis. Para kader selalu memberitahukan kepada bidan.
Program
jampersal di Baduy, selain untuk memudahkan persalinan juga diharapkan dapat
menurunkan angka kematian bayi dan ibu. Karena itu, setiap ibu hamil
mendapatkan pelayanan pemeriksaan kesehatan, masa nifas, dan proses persalinan.
Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Lebak Maman Sukirman mengatakan, pihaknya menargetkan angka
kematian bayi dan ibu pada 2011 turun. Ia menjelaskan, pemerintah daerah
mendapat dana jampersal Rp 5,4 miliar, sehingga pelayanan kesehatan dapat
ditingkatkan. Pelayanan kesehatan di 40 puskesmas saat ini terus dioptimalkan
untuk mencegah penyebaran penyakit menular dan promosi kesehatan.
BAB II
ASAL MULA ATAU SEJARAH SUKU BANGSA
2.1
Data Dari Para Ahli Prasejarah Berupa Mitologi atau
Dongeng Suci/Folklore
Baduy adalah
sebutan untuk satu komunitas adat yang memegang teguh tradisi dan kepercayaan
Sunda Wiwitan (kepercayaan Sunda pada masa awal sekali) hingga kini. Dahulu,
kebanyakan orang dari masyarakat lain yang bermukim disekelilingnya lebih
sering menyebut mereka sebagai Urang
Kanekes, atau Orang Kanekes. Sebutan ini menunjuk pada wilayah atau desa
tempat tinggal mereka. Sebutan ini mereka anggap kurang pas. Ditegaskan oleh
Ayah Mursid, dari Baduy dalam, bahwa Baduy adalah identitas mereka, bukan
Kanekes.
Nama Baduy
diambil dari nama sungai (anak sungai) yang mengalir di wilayah ini, yaitu
sungai Cibaduy. Sungai ini tidak jauh dari bukit yang merreka sebut sebagai
Gunung Baduy. Seiring dengan perjalanan waktu, berada ditengah antar pergaulan
komunitas masyarakat yang majemuk, mereka dengan mantap dan bangga menyandang
sebutan sebagai orang baduy.
Srtuktur
masyarakat pada komunitas adat Baduy memiliki keunikan yang sering membuat
banyak kalangan heran, yaitu dengan keberadaan dua komunitas dalam satu wilayah
adat, yaitu komunitas adat Baduy Luar dan komunitas adat Baduy Dalam. Keduanya
sama-sama bagian dari kesatuan komunitas adat Baduy. Sesungguhnya mereka sesama
saudara yang tinggal dalam wilayah yang sama, ciri-ciri yang tinggal dalam
wilayah yang sama, ciri-ciri fisiknya sama, bahasa yang digunakan sama dan mata
pencahariannya pun sama yaitu bertani, berkebun, mengolah hasil hutan dan
sesekali menjual hasil buminya keluar Baduy.
Kisah
terjadinya dua komunitas yang berbeda ini tidak pernah tercatat dalam dokumen
tertulis, namun terekam dalam tutur lisan. Pada mulanya mereka berasal dari
komunitas yang sama dengan aturan-aturan adat asli yang sangat ketat. Namun
seiring dengan dimanika zaman dan semakin terbukanya isolasi, pergaulan
antar-komunitas menjadi jamak. Maka, terjadilah persinggungan dan pencampuran
budaya, dan kemudian sebagian warga Baduy mengadopsi secara terbatas budaya
luar sampai sekarang ini. Komunitas Baduy Luar kini menjadi mayoritas dalam
komunitas adat Baduy keseluruhan.
Sebagai sesama
saudara mereka tidak berpisah, namun secara bijak membagi wilayahnya menjadi
dua, yaitu kawasan Baduy Luar yang berbatasan langsung dengan dunia luar dan
kawasan Baduy Dalam uang “terlindungi” dibagian “dalam” wilayah adat Baduy.
Dengan demikian
komunitas Baduy Luar menjalankan fungsinya sebagai benteng sekaligus penyaring
terhadap keagresifan budaya luar. Karenanya dalam komunitas Baduy Luar mendapat
julukan sebagai Urang Penamping, yang
berarti pendamping atau penyaring. Sedang Baduy Dalam biasa dengan sebutan Urang Tangtu, yang berarti yang dulu.
Namun dalam percakapan sehari-hari sebutan ini jarang disebutkan.
Persamaan
diantara komunitas Baduy Luar dan Baduy Dalam adalah mereka tetap berupaya
mempertahankan falsafah dan kesederhanaan hidup ala Baduy, menjaga dan
memelihara hidup penuh kedamaian, keluhuran pekerti, perilaku dan etos kerja.
Dalam keterpencilannya, mereka berusaha tetap hidup mandiri dalam bingkai
keseimbangan bersama alam dan lingkungannya.
2.2
Lisan atau Mouth To Mouth
Menyimak
cerita rakyat khususnya di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya
sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara
berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda.
I.
Berasal dari Kerajaan Pajajaran / Bogor
Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh
tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon,
pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan
gelar Prabu Siliwangi.
Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang
dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo
dalam hal ini adalah Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara
sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan
rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja
beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan kerajaan masuk
hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan
tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku
Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina
gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu
ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih
keneh sa wangatua”. Artinya : jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug
),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung,
lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun
keluarga yang masih satu turunan“ .
Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo (Baduy
Dalam) dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan (baju
sangsang), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai
di atas lutut, dan sipat penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapir amah,
kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi
bijaksana.
II.
Berasal dari Banten Girang/Serang
Menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra
dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun
setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau
mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk
mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di
Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan
tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai
ke Hulu sungai , maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah
yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat
ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan.
Keturunan ini yang kemudian menetap di
kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ) dengan Khas sama dengan di kampong Cikeusik
yaitu : wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak bicara ( hanya seperlunya ),
kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain yang sifatnya
pemberian, memakai baju putih ( blacu ) atau dari tenunan serat daun Pelah,
iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua ( diatas lutut ).
III.
Berasala dari Suku Pangawinan (campuran)
Yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada
waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, priangan, Bogor, Cirebon juga
dari Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar
adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah
tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga
kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan
belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus
menetap di kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di
kampung Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat
tersebut di atas masih ada kesamaan cirikhas tersendiri. Adapun sisanya
sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan
sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan
inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa
Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak dengan cirri-cirinya ; berpakaian
serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan,
berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi
masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh dan
taat terhadap Hukum adat.
Dari suku Baduy panamping pada tahun 1978 oleh pemerintah diadakan proyek
PKMT ( pemukiman kembali masyarakat terasing ) yang lokasinya di kampung
Margaluyu dan Cipangembar desa Leuwidamar kecamatan Leuwidamar dan terus
dikembangkan oleh pemerintah proyek ini di kampung Kopo I dan II, kampung
Sukamulya dan kampung Sukatani desa Jalupangmulya kecamatan Leuwidamar.
Suku Baduy panamping yang telah dimukimkan inilah yang disebut Baduy
Muslim, dikarenakan golongan ini telah memeluk agama Islam, bahkan ada yang
sudah melaksanakan rukun Islam yang ke 5 yaitu memunaikan ibadah Haji. Kini sebutan bagi suku
Baduy terdiri dari:
1)
Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili
di Tiga Tangtu (Kepuunan) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.
2)
Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili
di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih
terikatoleh Hukum adat dibawah pimpinan Puuun ( kepala adat ).
3)
Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan
dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti
masyarakat luar serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.
Adapun sebutan suku Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Badui,
yakni sebutan dari golongan/ kaum Islam yang maksudnya karena suku itu tidak
mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan disaudi Arabia
golongan yang seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang
tidak mau tunduk dan sulit di atur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi
sebutan Suku Baduy.
BAB III
BAHASA
3.1
Ciri-ciri Dialeg & Batas Penyebaran
Provinsi
Banten dahulu pernah menjadi wilayah Jawa Barat. Sehingga tidak heran bahasa
yang mereka gunakan adalah bahasa dialek Sunda-Banten. Ciri-ciri dialek mereka
dengan menggunakan bahasa sunda yang kasar bagi orang Sunda Jawa Barat, namun
bagi orang-orang suku Baduy itu dianggap halus.
Orang Baduy
terbiasa berbiacara dengan intonasi, irama dan volume yang terkendali. Hampir
tak terdengar teriakan dan suara keras, bahkan ketika mereka memperingati
anak-anak yang bertingkah bandel.
BAB IV
SISTEM TEKNOLOGI
4.1
Alat Produksi
1.
Alat Produksi Tenun
Alat produksi
tenun terbuat dari bahan-bahan ayng tersedia di wilayah Baduy. Tenunan Baduy
memiliki kekhasan dari segi corak dan teknik pembuatannya
yang kental dengan kearifan local. Untuk itu warga Baduy Bekerja sama dengan
Dinas Pariwisata Banten Provinsi Banten yang memberikan pelatihan kepada para
pengrajin tenun supaya hasil prosuksi bisa optimal dan kualitasnya lebih
meningkat. Sebuah selendang yang selesai ditenun dalam waktu satu minggu dijual
dengan seharga 35.000 hingga 40.000 rupiah.
2.
Tas Koja
Tas ini terbuat dari kulit kayu tereup
(koja), bahan serupa untuk mengobati gatal. Tas ini sering dibawa oleh orang
Baduy. Tas koja berfungsi seperti tas pada umumnya, yaitu untuk membawa
barang-barang atau alat yang sewaktu-waktu akan digunakan. Tas koja biasanya
digunakan oleh warga Baduy untuk membawa barang belanjaan atau alat kebutuhan
yang akan digunakan sewaktu perjalanan jauh. Tas koja bisa dikerjakan selama
satu minggu dan dijual kepada wisatawan seharga Rp. 25.000 per buah.
Tak hanya itu, Baduy juga identik dengan
talekung (ikat kepala) dan gelang.
Semuanya hanya bisa kita dapatkan di Baduy. Juga baju hitam dari bahan tenun
dan potongan Khas Baduy Luar bissa kita beli di Baduy.
4.2
Wadah
Di baduy juga
terdapat wadah-wadah yang hamper semuanya terbuat atau berbahan dari bambu:
1.
Kelek,
yaitu ember alami dari bambu yang berfungsi untuk menyimpan atau mengambil air.
2.
Nyiru,
tempat
yang terbuat dari bambu yang berfungsi untuk membersihkan beras dari sisa-sisa.
3.
Hihid,
yaitu kipas yang terbuat dari bambu untuk mendinginkan nasi setelah masak.
4.
Ayakan,
yaitu tempat untuk mencuci sayuran atau lainnya yang terbuat dari bambu, bisa
juga digunakan untuk menjemur.
5.
Aseupan,
yaitu
tempat yang terbuat dari bambu, yang berfungsi untuk menanak nasi. Berbentuk
kerucut.
6.
Jubung,
yaitu tempat untuk meyimpan aseupan saat akan di isi beras dan saat nasi telah
masak
7.
Kirwi,
yaitu gelas yang terbuat dari bambu.
8.
Wadah
runtah, yatiu tempat sampah yang terbuat dari bambu untuk
menyimpan sampah sebelum dibakar atau dibuang.
9.
Lodong,
salah
satu kegiatan wanita suku baduy adalah mencari lahang untuk dijadikan gula
aren. Setiap pagi mereka membawa lodong, gelonggong, bambu sepanjang 1 meter,
untuk menampung lahang (air nira) dari pohon aren diskitar kampung dan hutan.
Setelah terkumpul, digodoklah lahang itu hingga kental sebelum kemudian dicetak
menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap jual.
4.3
Pakaian atau Perhiasan
A.
Pakaian Komunitas Baduy Dalam
Para
pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, karena cara memakainya hanya disangsangkan atau
dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilubangi atau dicoak pada
bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai
kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka pada umumnya serba
putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan
mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun..
Para prianya mengenakan ikat kepala putih, baju pangsi putih, hitam atau
kombinasi hitam putih yang terbuat dari bahan tenun kasar. Bawahannya semacam
sarung setinggi lutut. Laki-laki mudanya gemar memakai aksesori gelang atau
kalung dari manik-manik warna-warni. Bila bepergian dilengkapi dengan semacam
tas kantong kain putih dan selalu
membawa golok sebagai alat kerja yang selalu siap.. Kemana pun mereka pergi,
mereka selalu bertelanjang kaki
Busana
kaum perempuannya memiliki warna dan bahan yang sama dengan busana pria, tetapi
bajunya selalu putih, potongannya sedikit beda. Kain bawahannya sedikit lebih
panjang dan berwarna hitam. Aksesoris yang dikenakan sedikit lebih bervariasi,
dengan gelang dan cincin dari perak atau keperakan. Dandanan rambutnya
kebanyakan hanya diikat atau digelung sederhana. Masyarakat baduy yakin dengan
pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih.
B.
Komunitas
Baduy Luar
Pakaian mereka
lebih bebas, misal dengan baju kaos bahkan celana jins. Perhiasan emas juga
amat digemari wanita Baduy Luar. Pakaian adat sehari-harinya dominan warna
hitam dengan ikat kepala biru tua bermotif batik, baju komprang dan celana
selutut. Perempuannya berkebaya sederhana warna hitam, cokelat tua, biru tua
atau keunguan. Bawahannya kain batik yang cukup bervariasi, namun lebih dominan
kewarna biru.
Bagi suku
baduy luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret. Baju
kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya berwarna biru tua dengan corak batik.
Desain bajunya belah dua sampai kebawah, seperti baju yang biasa dipakai
khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya menggunakan kantong, kancing, dan
bahan dasarnya tidak harus dari benang kapas murni. Terlihat dari warna, model
dan corak suku baduy luar, menunjukkan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh
oleh budaya luar.
Untuk memenuhi kebutuhan pakainnya,
masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai
dari menenam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal, ditenun sampai diclup
mnurut motif khasnya.
4.4
Alat Transportasi
Untuk mendukung
transportasi warganya di kawasan yang begitu luas dan berbukit-bukit, terdapat
labirin jalan setapak atau jalan dengan susunan batu sederhana yang
menghubungkan setiap pelosok dan sudut-sudut di seluruh kawasan Baduy. Juga
terdapat jembatan-jembatan yang terbuat dari bambu dan akar untuk menyebrangi
sungai. Tidak tampak sepotong jalan aspal pun atau jembatan konstruksi baja.
Aturan adat tidak mengijinkannya.
Tidak ada
kendaraan bermotor di kawasan baduy, bahkan sepeda pun kita tidak akan
menemukannya. Ke mana saja, selama masih di dalam wilayah Baduy, kita harus
berjalan kaki. Tak heran, warga Baduy tampak sehat dan bugar. Bagi komunitas
Baduy Dalam tidak diperbolehkan naik atau mengendarai kendaraan bermotor apa
pun. Perjalanan ke mana pun hanya dengan berjalan kaki, sejauh apa pun dan
berapa lama pun sedangkan suku baduy luar lebih mengikuti perkembangan zaman
dan teknologi. Masyarakat baduy luar telah mengenal
alat elektronik seperti televise dan lainya. Juga telah menggunakan alat
transportasi umum atau kendaraan.
Bangunan
jembatan bambu di atas kali besar merupakan suatu fenomena ”teknologi
tradisional” yang spektakuler. Jembatan kayu diatas Sungai Cisujung di Kampung
Gajeboh, salah satu perkampungan baduy Luar, terlihat artisitik melintang kokoh
menghubungkan kedua sisi jurang sungai di ketinggian sekititar 6 meter dari
permukaan sungai. Kemampuan teknologi praktis cukup baik untuk menciptakan
kontruksi jembatan alami yang teruji kekuatannya. Semua bahan bangunan ini
semuanya menggunakan bambu. Tiang-tiang penyangga dibuat dari bambu besar yang
panjang, juga tiang-tiang gantungan jembatan menggunakan bambu. Lantai
jembatannya dari bambu yang bulat dan utuh disusun sedemikian rupa seperti
rakit, sambung-menyambung dari sisi yang satu ke sisi sungai laninnya. Sebagai
pengikatnya orang Baduy menggunakan ijuk yang didapatkan dari pohon enau yang
juga banyak tersebar di wilayah hutan dan kebun di Baduy. Ada beberapa jembatan
bambu seperti ini di sana, juga terdapat jembatan akar yang dibuat dari rangkaian
akar-akar pohon besar dari kedua sisi sungai.
4.5
Senjata
A. Golok atau Bedog
Persenjataan bagi masyarakat suku baduy merupakan keharusan,
karena suku ini suka sekali berkelana dari satu pulau ke pulau lain, dari satu
hutan ke hutan yang lain, sehingga dalam sebuah perjalanan tak akan mungkin
pemuda baduy tidak mengikut sertakan. Suku baduy hingga kini masih menjaga
berbagai elemen adat seperti halnya Bedog.
Ada dua kampung di Baduy Luar yang terkenal pembuatan
perkakas tajam, yaitu kampung Batu
Beulah dan Cisadane.
Kedua kampung ini letaknya tidak berjauhan, dan berada di sebelah Selatan Baduy
(Kanekes). Tukang membuat perkakas tajam ini dinamakan Panday Beusi. Yang dibuatnya antara
lain Bedog, Kujang, dan Baliung. Kampung yang sangat populer
bedognya yaitu dari panday beusi Batu Beulah dan Cisadane. Sejak dahulu kedua
kampung yang berdekatan ini sudah terkenal buatan bedognya yang sangat hebat
(karena kekuatan, ketajaman, dan pamornya). Bahkan tersebutlah nama
seorang panday beusi Daenci (sekarang
sudah meninggal dunia) yang terkenal karena kesaktian dan kekuatan bedogknya.
Kepopuleran Batu Beulah hingga kini tidak bisa dilepaskan dari nama Daenci.
Anak dan cucu Daenci merupakan generasi penerus pembuat bedog Daenci.
Bedog menjadi atribut sehari-hari
lelaki Baduy. Ada dua macam Bedog yang dibuat dan digunakan oleh orang Baduy,
yaitu bedog polos dan bedog pamor. Bedog polos dibuat dengan
proses yang biasa, menggunakan besi baja bekas per pegas kendaraan bermotor
yang ditempa berulang-ulang. Bedog ini digunakan oleh orang Baduy untuk
menebang pohon, mengambil bambu, dan keperluan lainnya. Bedog Baduy yang telah
diyakini kekuatannya yaitu bedog yang berpamor. Bedog pamor memiliki urat-urat atau motif gambaryang menyerupai urat kayu
dari pangkal hingga ujung bedog pada kedua permukaannya. Proses pembuatannya
lebih lama dan memerlukan pencampuran
besi dan baja yang khusus. Kekuatan dan ketajaman bedog pamor melebihi
bedog polos biasa, di samping memilikikharisma tersendiri
bagi yang menyandangnya.
Bedog buatan orang Baduy-Dalam berbeda
dengan buatan orang Baduy-Luar. Secara jelas perbedaannya terletak pada
sarangka dan perah-nya, baik yang berpamor maupun tidak. Bedog terbuat dari
bahan baja dan besi bekas dari per pegas kendaraan bermotor. Pembuatannya
dengan cara menempa besi baja tersebut hingga pipih dan tajam dengan pemanasan
api arang.
Rekahias bedog diterakan pada bagian sarangka (wadah) dan perah (pegangan). Motif hiasnya
berupa garis-garis yang geometris mengikuti alur dan arah sarangka dan perah
tersebut, dengan menggunakan alat pisau pangot, atau pisau raut dan gergaji
kecil.
Bahan
untuk membuat sarangka ialah kayu
Reunghas, dan perahnya dari bahan kayu durenatau kayu jenis lain yang lebih keras. Pengikat atau
penguat sarangka digunakan bahantanduk
sapi atau kerbau yang
telah diraut terlebih dahulu. Tanduk sapi atau kerbau kadang-kadang digunakan
pula untuk perah bedog (berdasarkan pesanan).
B. Kujang
Kujang adalah alat untuk keperluan bercocok tanam di huma,
misalnya untuk ngacar, ngored, dan dibuat. Benda seperti ini di daerah sunda
yang lain sering dibilang arit, kujang dibuat dari besi dan baja yang ditempa.
Alat ini disebut kujang Karena mirip kujang sebagai senjata khas pajajaran dan
kini menjadi symbol daerah jawa. Dan alat ini banyak dipergunakan oleh orang baduy
dalam, sedangkan bagi orang baduy luar bisanaya menggunakan istilah kored (alat
untuk pekerjaan ngored atau membersihkan rerumputan di huma).
C. Kapak baliung
Baliung adalah alat untuk menebang pohon besar atau sebagai
salah satu perkakas untuk membangun rumah. Didaerah lain disebut juga kapak,
gagangnya terbuat dari kayu yang agak panjang (30-35cm). tenaga dan daya tekan
Baliung harus lebih besar daripada golok, dan arena itu dibuat dari besi baja
yang lebih besar dan tebal pada bagian pangkal atau yang tumpulnya.
4.6
Makanan & Minuman Khas
Pada acara-acara
atau upacara-upacara tradisional adat Baduy biasanya di sajikan berbagai
panganan atau makanan tradisional, yaitu:
1.
Rangginang,
yaitu makanan yang berbahan dasar ketan, kemudian ketan direndam, kemudian
ketan dikukus, kemudian dikarih, setelah itu di kukus kembai dan setelah masak
dicetak bulat-bulat tahap terakhir adalah penjemuran. Setelah itu baru
rangginang dapat digoreng untuk disajikan.
2.
Wajik,
yaitu bahan bakar yang berbahan dasar dari ketan, kemudian ketan direndam,
kemudian ketan dikukus, kemudian dikarih, setelah itu de kukus kembai dan
setelah masak di pindahkan ke dalam wajan yang berukuran besar dengan api yang
besar kemudian diaduk sambil dimasukan gula aren, kelapa. Setelah
matang kemudian wajik dibungkus dengan daun jagung, pengemasannya mirip dengan
dodol garut.
3.
Dodol,
bahan utamanya adalah ketan, kemudian ketan dibersihkan dan dikeringkan,
kemudian ketan dihaluskan menjadi tepung, setelah itu dimasukan kedalam wajan
besar dengan api yang besar dan disiram dengan dengan air santan, kemudian
dimasukkan gula aren. Setelah itu masak pengemasannya sama saja seperti wajik.
4.
Laksa, yaitu semacam mie yang berbahan
dasar dari tepung beras.
4.7
Tempat Berlindung atau Rumah
Penduduk baduy
tinggal di rumah-rumah panggung, bahan-bahan untuk membuat rumah komunitas
Baduy Dalam semuanya serba alami dengan memanfaatkan bahan-bahan dari alam
sekitarnya, kayu untuk tiang dan
kerangka utamanya, dindingnya menggunakan anyaman bambu, bambu tali digunakan
untuk mengikat tiang-tiang rumah, atapnya dibuat dari daun kirai sedangkan
lantainya terbuat dari palupuh. Bahan-bahan untuk membuat rumah komunitas Baduy
Luar hampir sama. Namun mendapat beberapa bahan tambahan pabrikan seperti paku,
engsel dan slot kunci.
Agar permukaan
tanah tidak longsor, di beberapa tempat diberi penahan dari tumbukan batu,
demikian pula permukaan tangga dan jalan. Jadi secara umum perkampungan Baduy
dibangun dari bahan-bahan alami yang mudah diperoleh dari sekelilingnya dan
bersifat ramah lingkungan.
Bangunan penting lainnya adalah tempat
menyimpan padi yang disebut leuit. Berbentuk
saung dan gaya rumah panggung dengan ukuran kurang lebih 150 cm x 120 cm x 150
cm. sebagian besar leuit memiliki tiang penopang tinggi sehingga untuk
mengambil padi memerlukan tangga. Akan tetapi, ada juga yang diletakkan rendah.
Yang menarik, disetiap tiang penopangnya dibagian pangkal atas diberi silinder
untuk menjaga dari gangguan tikus.
Leuit dibangun agak jauh dari
perkampungan, agar jika terjadi musibah kebakaran, leuit tetap aman. Di Kampung
Gajeboh sebagian besar Leuit dibangun di lahan seberang sungai. Orang Baduy
terbiasa menanak nasi secukupnya. Jika beras habis, mereka menumbuk lagi di saung lisung
(tempat menumbuk padi untuk umum). Mereka tidak memiliki persediaan
beras yang banyak di rumahnya.
Terdapat saung khusus untuk lesung
panjang, tempat kaum perempuan bersama-sama menumbuk padi. Selain itu juga
terdapat rumah atau saung disekitar rumah-rumah warga untuk tempat berbincang
sekaligus untuk tempat ronda. Juga terdapa saung-saung di lading untuk
menunggui lading.
A. Rumah
Komunitas Baduy Dalam
Rumah
orang Baduy Dalam berbentuk segi empat atau persegi panjang. Tinggi lantai
rumah pada medan datar sekitar 80-90 cm dari permukaan tanah, menjadi jauh
lebih tinggi pada medan tanah yang miring. Teras atau gelodog dibuat dari jajaran bambu-bambu
untuh yang dipasang rapat. Di pojok teras terdapat tempat sampah dari anyaman bambu
berbentuk tempat eraman ayam. Di dekat pintu terdapat beberapa bambu, yaitu kelek, untuk
wadah air bersih, inilah ember alami Baduy. Karena
tinggi untuk naik-turun, rumah terssedia tangga kayu (taraje) khas Baduy Dalam
dari kayu bulat atau bambu. Rumah
ini sangat unik karena hanya memiliki satu pintu dan selalu menghadap utara
atau selatan. Tungku api tempat memasak berada di dalam rumah. Pintu dan lantai
rumah terbuat dari bambu yang dibelah.
Mereka menggunakan tali yang berasal dari bamboo untuk mengikat tiang-tiang
rumah. Paku tidak digunakan karena aturan adat tidak mengijinkan. Setelah
mendirikan rumah, mereka mengadakan syukuran sebagai ungkapan terimakasih
kepada Yang Mahakuasa.
Rumah panggung dengan satu pintu
memiliki makna yang dalam. Satu pintu melambangkan kesetiaan. Mereka hanya
boleh memiliki satu istri. Tidak ada perceraian kecuali kematian yang
memisahkan mereka. Hal ini juga yang menyebabkan orang Baduy Dalam enggan
menikah dengan orang di luar suku mereka, termasuk dengan orang Baduy Luar
karena orang-orang di luar suku mereka menganggap perceraian adalah hal-hal
yang sah-sah saja untuk dilakukan. Apabila terjadi pernikahan antara Baduy Luar
dengan Baduy Dalam, hukum adat Baduy Dalam
mengharuskan mereka mengikuti adat Baduy Dalam dan harus tinggal bersama
mereka. Perceraian merupakan hal yang dilarang adat. Jika terjadi perceraian,
mereka harus keluar dari Baduy Dalam. Sanksi tersebut sangat berat bagi mereka.
Masyarakat
Baduy Dalam tidak diperbolehkan menghias rumahnya atau pun membuat jendela
besar, tetapi hanya berupa lubang-lubang kecil yang disebut lolongok, lolongok disesuaikan untuk
mengintip atau melihat keluar dan menyebar di beberapa tempat. Pintunya dibuat dari anyaman bamboo (sarigsig, bahasa Sunda) dan hanya memiliki satu pintu.
Pembagian
ruangan amat sederhana, yaitu hanya ada, yaitu hanya ada dua ruang. Yang
satu adalah kamar keluarga, cukup besar lengkap dengan perapian atau tungku.
Ruang ini adalah ruang utama, lantainya lebih tinggi sekitar 20 cm. yang
satunya lagi ruang serbaguna berbentuk L yang disebut tepas, yang dilengkapi seperangkat tungku di pojoknya. Ruang
selebihnya untuk duduk-duduk dan ruang yang menyamping bisa untuk tidur kerabat
yang masih tinggal serumah atau untuk menyimpan barang-barang. Pembagian maupun
fungsinya dibuat sesuai aturan adat Baduy Dalam.
B. Rumah
Komounitas Baduy Luar
Masyarakat
Baduy Luar diperbolehkan menghias rumahnya atau pun membuat jendela besar. Oleh
karena itu banyak dinding-dinding rumah di Kampung Gajeboh yang dibuat dari
anyaman bilik berhias dekoratif. Rumah mereka pun umumnya memiliki jendela.
Pintunya berupa pintu panel dari kayu yang dihaluskan. Bahkan
beberapa rumah memiliki beberapa pintu.
BAB V
SISTEM MATA PENCAHARIAN
5.1
Berladang
Sekitar bulan
Juli, warga
Baduy mulai membuka lahan untuk persiapan musim tanam padi. Diawali dengan nyacar, menebang pepohonan dan membabati
semak-belukar lahan tidur panjang, beramai-ramai gotong royong bersama kerabat
tetangga. Dilanjutkan dengan nyasap, yaitu membakar ranting-ranting
dan dedaunan, kemudian memastikan permukaan tanah benar-benar bersih dari
tanaman pengganggu.
Sekitar bulan September, acara ngaseuk yaitu menabur benih padi dan
tanaman lainnya seperti singkong, jagung, talas, umbi, dan lainnya dengan cara
mencocok permukaan tanah dengan dahan kayu yang diruncingi ujungnya. Tidak
perlu ditutu tanah lagi, lembabnya malam membuat embun padi dan lainnya tumbuh
subur alami. Acara ngseuk di Baduy
dilaksanakan per keluarga dan kerabat masing-masing. Acara selametan dapat
dilaksanakan bersama, kampung per kampung. Namun tetap pada waktu yang hamper
bersamaan.
Sekitar bulan Maret, merupakan musim panen. Antar keluarga dan
tetangga saling membantu karena tuaian cukup luas, apalagi sesuai dengan aturan
adat Baduy, padi harus dipotong tangkai demi tangkai dengan alat etem
tradisional. Hasilnya terlihat puluh-puluh ikat padi yang disusun memanjang.
Sekitar 3-5 hari ditinggal di lading hingga kering untuk diproses atau
disimpang di lumbung padi atau leuit.
Sepanjang rangkaian proses, mulai dari
kegiatan persiapan lahan untuk ladang atau huma, hingga menabur benih sampai
hari-hari panen tiba merupakan rangkaian acara adat di Baduy. Di hampir setiap
tahapan selalu diawali dengan upacara pemantraan atau doa khusus yang diatur
oleh adat dan tidak boleh diabaikan. Sebelum dipanen, tiga hari berturut-turut
setiap sore, Jaya berdoa membaca mantra khusus persis di tengah lading padinya
yang siap dituai. Beruntung, penulis sempat menyaksikan pada hari yang ketiga.
Esok harinya sekeluarga bersama beberapa kerabat dan tetangga mulai acara panen
padi dengan ekspresi penuh gairah dan rasa syukur. Hal ini menandakan bahwa alam dunia pertanian menjadi
pokok orientasi kehidupan adat di Baduy. Dengan sendirinya perkara-perkara lain
juga mengikuti demi ketenangan batin, ketentraman dan kesejahteraan.
Masyarakat
Baduy dalam menerapkan system ladang berpindah-pindah dengan penggarapan secara
bergilir. Hukum adat mereka mengatur batas tanah suku Baduy Dalam adalah hak
milik seluruh penghuni suku Baduy Dalam. Pengelolaanya dibagi-bagi menurut
batas masing-masing-masing keluarga. Mereka dapat menggarap dan mengambil hasil
apa pun dari batas tanah tersebut. Hukum yang ada membatasi antara tanah milik
suku Baduy dalam dan suku Baduy Luar. Di antara mereka tidak boleh mengambil
hasil apa pun selain dari wilayah masing-masing. Warga baduy hanya boleh menanam komoditas asli sesuai
tradisi turun temurun.
1.
Jenis padi
Ada beberapa jenis padi yang dimiliki
masyarakat baduy. Bahkan iperkirakan terdapat 40 jenis padi yang ditanam dan
tumbuh diskitar warrga baduy. Adapun nama-namanya memanglah sangatlah kental
dengan bahasa sunda local diantaranya pare koneng, pare salak, pare siang, dan
pare ketanan.
2.
Perawatan padi
Berebeda dengan petani kebanyak yang
melakukan perawatan padi dengan bahan kimia, suku baduy melakukan perawatan
padi dengan menggunakan cara yang tradisional. Biasanya, petani dauy memakai
ramuan yang dihasilkan dengan oplosan anka tanaman, cangkudu, tamiang, gempol,
pacing tawa, dan lajak. Semua
tanaman ini diaduk rata dengan campuran air tuak lalu ditebarkan pada tanaman
yang mulai tumbuh dewasa. Ini biasa mereka sebut dengan
pestisida alamiah.
3.
Tempat penyimpanan padi
Gudang penyimpanan padi atau lumbung
dalam bahasa baduy disebut dengan leuwit. Bahan kerangka pokok bangunan ini
dengan anyaman bamboo yang diajadikan dindingnya. Sementara, bagian atapnya
ditutup dengan hateuk alias daun kelapa kering atau juga ijuk yang terbuat dari
serabut pada pohon areng.jika kita teliti, maka akan ditemukan papan bundar
sebagai alas kaki kaki lumbung. Gunanya sebagai anti hama, misanya tikus.
5.2 Berkebun
Dari
kampung-kampung Baduy setiap hari keluar berkuintal-kuintal pisang, petai dan
durian (kalau sedang musimnya), gula aren dan komoditas hasil kebun lainnya.
Hasil-hasil pertanian itu mengalir ke desa-desa sekitar, bahkan sampai ke
Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Dengan cara itulah orang-orang Baduy
mendapat uang tunai.
Durian atau kadu dalam bahasa setempat. Durian
merupakan tanaman kebun yang cukup dominan di seluruh tanah Baduy,
sampai-sampai dipakai nama kampung, antara lain Kaduketug, Kadujangkung,
Kadugede, Kaduketer dan Kadukohak. Karena itu pada musimnya, baduy merupakan
pemasok durian yang cukup besar bagi pasar kota.
·
Menjual Hasil
Karajinan
Masyarakat baduy memang dikenal dengan
masyarakat madani. Dengan berprinsip hidup dari apa yang ada dialam mereka pun
berusaha segala kebutuhannya dengan caranya sendiri tanpa banyak bergantung
pada orang lain. Secara tidak langsung, hal ini memaksa mereka untuk berkreasi
menciptakan sesuatu guna memenuhi kebutuhan hidup.
·
Menjual Buah-buahan
Suku Baduy juga menjuual buah-buahan
yang mereka dpatkan di hutan. Selain itu sebagai tanda kepatuhan atau pengakuan
kepada pengusaha, masyarakat kenakes secara rutin melaksanakan seba yang masih
rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa
setempat yaitu gubernur banten. Dari hal tersebut tercipta interaksi yang erta
antara masyarakat baduy dengan penduduk luar.
5.3 Beternak
Aturan adat
Baduy membatasi kegiatan ekonomi yang boleh dilakukan warganya, misalnya yang
menyangkut dunia pertanian juga beternak. Adat baduy hanya
memperbolehkan masyarakatnya untuk beternak ayam. Perdagangan system kulakan dan dijual kembali demi
keuntungan juga dilarang. Namun, arus dan dinamika zaman yang juga menyentuh
masyarakat Baduy menyebabkan terjadinya penyesuaian secara terbatas. “karena
orang Baduy juga gemar menikmati kopi dan membutuhkan kayu jengjeng buat
bangunan rumanya, sekarang sebagian orang Baduy juga menanam tanaman itu karena
lahan tersedia,” tutur Emen.
Uang hasil
dari penjualan itulah yang dipakai untuk dibelikan barang yang mereka tidak
hasilkan sendiri seperti minyak tanah, garam, ikan asin dan rokok. Tak banyak
barang yang mereka beli karena memang tidak sesuai dengan aturan adat.
Orang Baduy
mempunyai prinsip, selama mempunyai orang mereka tidak akan mengonsumsi padi
hasil mereka sendiri, tapi membeli dari luar, karena ada kekhawatiran akan
datangnya musim paceklik atau kurangnya pasokan, kecuali dikonsumsi untuk
upacara adat atau memang sangat diperlukan. Begitu juga dengan garam, ada yang
menyimpnnya sampai bertahun-tahun lamanya.
·
Baduy
Luar
Para penduduk asli
setempat yang aslinya berprofesi sebagai petani, kini merangkap menjadi
pedagang dan pengrajin cindera mata, menggelar dagangannya diteras (golodog, bahasa sunda) rumahnya
masing-masing. Mereka menjual barang khas Baduy yang terbuat dari bahan-bahan
alami seperti buah cariu, batok kelapa, rotan, kulit kayu dan masih banyak
lagi. Kerajinan khas Baduy adalah tas berbahan dari kulit kayu teureup yang
disebut jarog dan koja. Baduy pun terkenal dengan
kerajinan kain tenunya yang bahan bakunya yaitu benang (kanteh, bahasa sunda) yang diperoleh dari luar namun proses
pencelupan dan pembuatan dilakukan sendiri.
BAB VI
ORGANISASI SOSIAL
6.1
Sistem Pembagian Kerja
Suku baduy
dalam kesehariannya menjungjung tinggi prinsip gotong-royong dalam pekerjaan
apa pun baik itu dikalangan laki-laki maupun perempuan. Misalnya kaum laki-laki
bergotong royong untuk merenovasi rumah dan kaum perempuannya bergotong-royong
menumbuk padi dalam lesung panjang.
Pembagian
kerja dan peran dalam keluarga antara kaum laki-laki dan perempuan yang
terlihat amat seimbang. Masing-masing menunjukan sisi tanggung jawabnya dengan
penuh keikhlasan. Tampil berdampingan dalam kesetaraan sesuai kodrat alaminya. Laki-laki,
perempuan, tua-muda, remaja dan anak-anak.
Mulai umur 10
tahun, anak-anak Baduy baik laki-laki atau perempuan wajib belajar dan berlatih
mengerjakan apa saja, membantu dan mencontoh orangtuanya. Bekerja, Belajar, dan
bermain dilakukan berbarengan. Ini sesuatu yang mengasyikan dan menyibukan
anak-anak baduy. Tempatnya bisa dimana saja, bisa dirumah, saung, ladang atau
kebun.
Misalnya,
beberapa remaja Baduy Dalam turun ke Ciboleger, masing-masing memikul beberapa
tandan pisang dan beberapa ikat petai yang lumayan berat untuk dijual. Begitu
juga pekerjaan yang kadang dilakukan oleh remaja-remaja Baduy Luar. Bahkan bagi
perempuannya pun terkadang mereka memikul kayu bakar untuk dibawa ke rumah
6.2
Sistem Kekerabatan
Sesuai aturan
Baduy Dalam, pasangan dijodohkan oleh para orangtua dan tetua adat. Jadi para
laki-laki muda dan para gadis Baduy Dalam tidak bebas memilih jodonya sendiri.
Dan sekali menikah tidak boleh cerai sampai mati. Sementara di Baduy Luar
perjodohan pemuda-pemudinya bisa melalui pendekatan dan saling taksir.
Ada syarat-syarat
adat sebelum seorang pemuda layak menikahi seorang gadis, yang utama adalah
sudah cukup umur dan mampu bertani alias mengenal dan menguasai cara mengolah
tanah atau ladang dari awal hingga panen padi. Selain itu harus mampu dan
terampil membuat peralatan rumah tangga serta mengerti cara merawat rumah.
Pendeknya, siap untuk hidup mandiri. Hasil pekerjaanya sementara dapat
dititipkan pada orangtua keluarga induk.
Setelah sang
pemuda benar-benar siap, antara keluarga dan tetua adat berembuk untuk menentukan
jodoh bagi si pemuda dan si pemudi. Prosesnya cukup panjang, membutuhkan
rentang waktu dua tahhunan dan melalui tiga tahap lamaran. Hal
ini dimaksudkan sebagai proses pematangan dan ujian. Umumnya proses ini
berjalan baik. Pada tahap terakhir mereka akan menentukan kapanpasangan
tersebut dinikahkan. Janji untuk setia dan untuk bertanggung jawab terhadap
keluarga diucapkan oleh pengantin pria. Setelah menikah, sebelum mereka
memiliki rumah sendiri, mereka tinggal menumpang di rumah keluarga salah satu pihak
orangtua.
Orang dan para tetua adat mulai
memikirkan jodoh para pemuda dan pemudi dayak sejak berumur sepuluh tahun. Satu bulan sebelum menikah, kedua calon pengantin baru
dipertemukan. Calon pengantin pria bekerja di ladang calon mertua selama tiga
hari sebelum pernikahan.
Mereka hanya
boleh memiliki satu istri. Tidak ada perceraian kecuali kematian yang
memisahkan mereka. Hal ini juga yang menyebabkan orang Baduy Dalam enggan
menikah dengan orang di luar suku mereka, termasuk dengan orang Baduy Luar karena
orang-orang di luar suku mereka menganggap perceraian adalah hal-hal yang
sah-sah saja untuk dilakukan. Apabila terjadi pernikahan antara Baduy Luar
dengan Baduy Dalam, hukum adat Baduy Dalam
mengharuskan mereka mengikuti adat Baduy Dalam dan harus tinggal bersama
mereka. Perceraian merupakan hal yang dilarang adat. Jika terjadi perceraian,
mereka harus keluar dari Baduy Dalam. Sanksi tersebut sangat
berat bagi mereka.
Dalam perkara warisan, suku baduy lebih
menganut model masyarakat patrilineal yatiu anak laki-laki mewarisi bagian
harta lebih besar ketimbang anak perempuan. Sebenarnya sama, warisan untuk anak
laki-laki maupun anak perempuan. Bedanya anak laki-laki mewarisi tanggung jawab
lebih besar untuk memelihara aturan adat Baduy. Hal ini menunjukan bahwa
penghormatan terhadap kedudukan peran kaum perempuan dimasyarakat Baduy Dalam
Sangat baik.
6.3
Sistem Kepemimpinan
Kepala adat
Baduy sekaligus ulama atau imam kepercayaan Sunda Wiwitan di sebut “Puun”.
Jumlahnya tiga orang. Mereka tinggal di wilayah Baduy dalam yang sakral, yaitu
kampong Cibeo, Cikeusik dan Cikatarwana. Mereka menjalankan fungsi sebagai
pemimpin spiritual tertinggi bagi seluruh komunitas adat Baduy, baik dalam
maupun luar. Faat dari para Puun inilah yang membuat Tanah Baduy hingga sekarang
masih relative bebas dari segala pengaruh budaya luar. Namun tidak begitu
banyak peraturan bagi komunitas adat Baduy Luar. Contohnya seperti seperti
listrik & jalan beraspal yang ditabukan di tanah Baduy. Aturan adat Baduy
pun membatasi kegiatan ekonomi yang dilakukan warganya, misalnya yang
menyangkut dunia pertanian. Warga baduy hanya boleh menanam komoditas asli
sesuai tradisi turun-temurun. Karena semua itu dianggap akan mempengaruhi
budaya Baduy yang telah ada.
6.4
Lapisan Sosial
Mereka juga memiliki ukuran atau standar
untuk menunjukkan status ekonominya. Status ukuran ekonomi seseorang
ditunjukkan dengan kepemilikan terhadap padi, hasil bumi, ayam dan lembaran
kain yang tersimpan di lemari mereka. Semakin banyak kepemilikan mereka
terhadap barang-barang tersebut, mereka semakin dianggap kaya.
BAB VII
SISTEM PENGETAHUAN
7.1
Alam Sekitarnya Termasuk Flora
& Fauna di Daerah Sekitarnya
Bambu
merupakan teman hidup masyarakat Baduy. Bambu dengan segala kelebihannya
telah menyediakan dirinya menjadi bahan baku bagi hamper seluruh kehidupan
manusia. Mulai dari akar, hingga pucuk dan daunnya. Akar bambu sering dipakai
sebagai bahan ramuan obat, pucuk (rebung) tunahnya dibuat sayuran dan bambu
dewasa untuk bermacam keperluan bangunan. Bahkan tanah bekas rumpun bambu
adalah bagian tanah yang amat subur untuk berladang.
Bambu juga merupakan bahan utama bagi
suku Baduy untuk membuat bangunan. Bambu dapat digunakan menjadi lumbung padi,
tempat jemuran padi yang baru dipenen, peralatan wadah, rumah, saluran air, dan
jembatan di atas sungai atau jurang. Format bambu yang lurus dan panjang tanpa
cabang, berlubang tengah, beruas dan berbuku kokoh, tersedia dalam berbagai
ukuran dan berbagai kelebihan tumbuhan bambu telah menjadikannya sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Baduy.
Pemilihan jenis bambu menentukan
aplikasinya dengan perhitungan kualitas, keluwesan, kelenturan, ketahanan
terhadap kondisi cuaca, permukaan dan sebaginya, disamping tebtu saja ukuran
panjang dan diameternya. Di Baduy terdapat 4 jenis bambu, bambu yang utama
yaitu bambu apus, bambu gede, bambu mayam dan bambu hitam.
Bambu apus, walau kecil namun seratnya
halus dan luwes karenanya paling bagus untuk membuat tali, anyaman, dinding,
juga usuk. Bambu mayam juga begus untuk membuat dinding anyaman, diameternya
lebih besar namun tumbunya mengerucut (mengecil) keatas sehingga kurang ideal
untuk tiang, tetapi rasa rebungnya lebih enak untuk dijadikan masakan.
Bambu gede sesuai dengan namanya,
diameternya paling besar, juga lebih rata memanjang, jadi ideal untuk membuat
lantai palupuh, tiang dna kontruksi jembatan. Bambu hitam atau istilah
setempatnya awi hideung, disamping
ukuran maupun kualitasnya yang ideal, warnanya yang hitam keunguan menjadi
kombinasi ideal pembentuk pola seni bagi berbagai peralatan dan anyaman
dinding.
“Disamping umur tanaman, waktu menebang
juga menentukan kualitas dan keawetan bambu, lebih siang, lebih baik, karena
kandungan air pada bambu mencapai titik terendah”, Angling yang ahli membangun
rumah Baduy menjelaskan.
Lokasi kampung
di Baduy bisa pindah karena beberapa alasan. Kampung Cicakal pernah mengalami
kebakaran habis sampai dua kali sebelum pindah ke lokasinya sekarang ini. Konon
kampung Cibeo, Baduy Dalam, pindah ke lokasinya yang ideal sekarang karena dulu
terletak pada medan yang terlalu curam dan sempit untuk bisa menampung
perkembangan yang terjadi. “Sudah barang tentu memindahkan lokasi kampung harus
dengan pertimbangan masak sesuai tata lahan yang ada dan menurut aturan adat
yang berlaku. Tidak boleh asal saja, “Emen menjelaskan.
7.2
Sifat Manusia
Rombongan
orang luar lebih dari sepuluh orang tidak boleh melewati jalur hutan lindung.
Demi menjaga ketenangan. Karena
biasanya rombongan suka bikin suara ribut dan susah diatur.
Terdapat
sedikit perbedaan dengan
beberapa kampung yang biasa
dilewati. Warganya sedikit lebih terbuka dan lebih terbiasa
berkomunikasi, berbasa-basi dengan orang luar. Misal Kampung Kaduketug,
Gajeboh, Cicakal bahkan Cibeo, Baduy Dalam. Kebetulan kampung-kampung ini
memiliki daya tarik khas. Kaduketug sebagai “gerbang” wilayah Baduy, Gajeboh
paling sering dikunjungi orang luar karena jalurnya mudah dan persis di tepi
Sungai Ciujung dengan jembatan bambunya yang alami. Rumah-rumah menghadap
sungai, sekalian untuk menginap. Dan banyak perajin tenun disini, yang menjadi
daya tarik tersendiri. Kampung Cicakal dengan kemiringan 45 derajat, juga di
tepi Sungai Ciujung, susunan rumah-rumahnya tampak artistik dipandang dari
bukit seberangnya. Terdapat
perajin golok khas Baduy di kampung ini.
7.3
Ruang & Waktu
Sistem penanggalan masyarakat Baduy
Dalam cukup unik. System kalender mereka berbeda dengan system kalender Masehi
maupun kalender Islam, dan tidak pernah tertulis. Dengan demikian bagi kita
sebagai masyarakat luar Baduy agak sulit mendapa informasi trentang waktu
pelaksanaan rangkaian adat Ngawalu secara jelas dan tepat. Tetapai dapat dibaca
bahwa kronologi proses pertumbuhan padi sebagai symbol turunnya berkah
benar-benar dirayakan. Dari sini
penetapan bulan dan harinya berpatokan musim tanam dan panen padi. Misal, saat
tanaman padi mulai bunting dan berbunga menandai datangnya bulan-bulan Kawalu. Perhitungan
yang cermat berkenaan dengan siklus pertanian menjadi penentu system kalender
Baduy. Setahun dibagi menjadi 12 bulan. Jumlah hari dalam setiap bulan sekitar
30 hari, namun tanggalnya bisa bergeser maju atau mundur sedikit dari hitungan
kalender Masehi. Nama bulannya adalah Sapar, Kalima, Kaenam, Kapitu, Kadalapan,
Kasalapan, Kasapuluh, Hapitlemah, Hapitkayu, Karsa (Kawalu tembay), Karo (Kawalu
tengah), dan Ketiga (Kawalu tutug). System kalender ini diikuti oleh seluruh
komunitas Baduy, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar.
BAB VIII
SISTEM RELIGI
8.1
Upacara Kebudayaan
A.
Hari Raya Kawalu
Sesuai
hitungan kalender adat, terdapat hari raya Kawalu, merupakan hari raya paling
utama bagi komunitas adat Baduy Dalam, dan berlaku juga bagi Baduy Luar.
Perayaan hari raya ini biasa disebut Ngawalu yang dilaksanakan pada bulan-bulan
Kawalu, berlangsung selama tiga bulan, kira-kira jatuh sekitar akhir Desember samapai
Maret pada kalender masehi. Secara kronologis kawalu terbagi menjadi tiga,
yaitu bulan Kawalu Tembay (awal), Kawalu Tengah dan Kawalu Tutug (besar atau
penutup). Bulan-bulan kawalu merupakan tiga bulan yang dihormati dan disyukuri,
ditandai saat padi muali berbunga, seterusnya hingga pada masa panen usai.
Rangkaian upacara adat Ngawalu yang ditutup dengan Ngalaksa dilaksanakan pada
kurun waktu ini. Ini merupakan rangkaian acara-acara syukuran dan peringatan
terhadap pesan-pesan leluhur yang harus dipegang tehuharus dipegang teguh.
Semua ini demi kelestarian adat dan kontinuitas berkar kesejahteraan bagi
seluruh warga Badui turun-temurun. Laku
puasa sehari setiap bulan (3 bulan masa Kawalu) mengiringi acara ini.
Pelaksanaanya diserahkan kepada warga dan keluarga masing-masing.
Terdapat
pula upacara adat Nganyaran yang dilakukan masing-masing keluarga. Yaitu doa
syukur khusus bagi hasil panen padi sebelum dikonsumsi. Menurutnya
kepercayaannya acara-acara adat seperti ini tidak boleh dilanggar demi keselamatan
dan kesejahteraan hidup. Pada masa Kawalu ini, pada hari-hari yang ditentukan
diselenggarakan acara besar yaitu menumbuk padi perdana secara bersama, diikuti
dan dihadiri oleh semua utusan komunitas adat Baduy. Biasanya dipusatkan di
Cibeo, Baduy Dalam. Sebagian beras yang dihasilkan kemudian dibuat tepung dan
setelah didoakan tepung dibagi-bagikan ke seluruh wilayah adat Baduy. Tepung
inilah pada acara berikutnya yaitu Ngalaksa, menjadi bahan membuat laksa
(semacam mie yang terbuat dari tepung beras), untuk seterusnya dibagikan merata
kepada seluruh warga Baduy tak terkecuali anak-anak. Acara ini merupakan
penggenapan dari ritual adat simbolis sebagai doa syukur atas berkah
kesejahteraan dan keselamatan seluruh komunitas adat Baduy.
Selama
acara adat ini berlangsung, khusunya pada hari-hari puncak acara kada Kawalu,
kawasan Baduy terutama Baduy Luar tertutup bagi semuaa jenis kunjungan wisata
rombongan besar, kecuali kunjungan beberapa individu yang sudah mereka kenal.
Aturan itu untuk menghormati dan menjaga kesyakralan bulan-bulan Kawalu, juga untuk
menghormati para leluhur.
B.
Perkawinan
Upacara
pernikahan dilakukan didepan tetua adat, para orang tua dan saksi dengan
mengucapkan jandi setia untuk hidup bertanggung jawab, rajin bekerja untuk
mencukupi kebutuhan keluarga. Acara ini disertai doa-doa oleh penghulu adat
khusus dan dimeriahkan dengan pesta sesuai kebiasaan ini disertai doa-doa oleh
penghulu adat khusus dan dimeriahkan dengan pesta sesuai kebiasaan adat. Yaitu
dengan diiringi musik gamelan lengkap dan pesta makan.
Perkawinan,
dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut
lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun
mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.
Dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari tentunya masyarakat baduy disesuaikan dengan
penanggalan:
1)
Bulan Kasa
2)
Bulan Karo
3)
Bulan Katilu
4)
Bulan Sapar
5) Bulan
Kalima
6) Bulan
Kaanem
7) Bulan
Kapitu
8) Bulan
Kadalapan
9) Bulan
Kasalapan
10) Bulan
Kasapuluh
11) Bulan
Hapid Lemah
12) Bulan
Hapid Kayu
C.
Khitanan
Massal
Khitanan
massal merupakan salah satu acara adat terbesar dan termeriah bagi suku Baduy
Dalam. Dalam pesta ini mereka memotong puluha ekor ayam untuk acara pesta
syukuran. Kalau kita mengunjungai suku Baduy Dalam dan bertepatan pada acara
ini, kita dapat makan ayam sepuasnnya. Yang khas Baduy dari acara ini adalah
dibangunnya temapat khusu yaitu saung Papajangan atau saung Pasajean di halaman
kampung. Ukurannya sekitar 4 m x 4 m dengan tinggi lantai saung sekitar 1,5 m.
tingginya lantai ini merupakan symbol dari harapan tinggi bagi anak-anak agar
kelak hidupnya mulia dan sejahtera. Semalam sebelum hari-H, anak-anak yang akan
disunat tidur di saung ini dan diiringi pantun atu doa-doa yang dilantunkan
oleh pelantun khusus. Esoknya, khitanan dilaksanakan di taraje atau tangga saung yang terbuat dari bamboo. Baru kemudian
anak-anak yang dikhitan dibawa keluarga masing-masing ke rumahnya untuk acara
pesta. Suasana sungguh
meriah karena beberapa keluarga mengadakan pesta pada saat yang bersamaan.
Pesta (istilah setempatnya sedekah) berarti saling berbagi berkah dengan
kerabat, tetangga, kenalan terdekat yang berdatangan dan menjadi kehormatan
bagi tuan rumah. Pada acara ini biasa disajikan berbagai penganan tradisional
seperti rangginang, dodol, jipang dan sebagainya.
Dengan
kesibukan yang sama seriusnya di Baduy Luar dalam menyiapkan acara khitanan,
bisa diduga bahwa acara ini memiliki skala yang sama untuk komunitas Baduy
Luar. Mereka melakukan beberapa kali rapat “panitia”. Kaum laki-laki
bergotong-royong menyiapkan kayu bakar, kemudian bersama kaum perempuannya
beramai-ramai sekampung memasak penganan sebagai bagian dari bahan hantaran
buat undangan sekaligus permohonan izin dan doa restu dari lurah dan para tetua
adat (kakolot). Mereka juga mengundang secara khusus pembawa dan petugas acara,
antara lain dukun sunat dari Baduy Dalam dan apntun atau pelantun doa. Acara
ini sama pentingnya karena acara adat ini berasal dari leluhur. Untuk
memeriahkan acara ini biasa dimainkan musik gamelan lengkap.
D.
Upacara Adat Cukuran
Sesuai
kepercayaan adat, sesuatu yang bersifat awal atau pertama dalam kehidupan
merupakan peristiwa sacral, dan selayaknya dimintakan berkat sekaligus
disyukuri dengan satu upacara khusus. Demikianlah, upacara adat cukuran
tergolong upacara adat pertama di Baduy, karena menyangkut upacara kehadiran
anak setelah lahir dan tumbunh hingga usia sekitar 1-2 tahun. Pada upacara ini,
secara simbolis hanya dipotong dua helai rambut saja, dan oleh pemimpin upacara
adat atau sang dukun, dinaikkan doa-doa yang menyertainya, dimohonkan berekat
dan segala harapan mulia, agar mereka selamat menjadi anak-anak yang tumbuh
sehat dan cakap, semakin dewasa menjadi anak yang mencintai dan menghormati
orang tua, keluarga, sesame dan lingkungannya, hingga kelak mampu mandiri
sebagai manusia yang berguna.
Secara
simbolik upacara ini menandai sahnya seorang anak hadir di dunia menjadi
manusia yang diberkati dan direstui oleh Sang Penguasa Kehidupan. Juga sah
menyandang nama yang mengikat secara simbolik, menjadi kewajiban orangtuanya
untuk membesarkan anaknya dengan penuh kasih saying dan tanggung jawab. Upacara adat sacral ini diselenggarakan di Baduy Dalam,
demikian juga di Baduy Luar.
E.
Upacara
Kelahiran
Kelahiran yang
dilakukan melalui urutan kegiatan yaitu:
1)
Kendit yaitu upacara 7 bulanan
ibu yang sedang hamil.
2)
Saat bayi itu lahir akan dibawa
ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
3)
Setelah 7 hari setelah
kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.
4)
Upacara Angiran yang dilakukan
pada hari ke 40 setelah kelahiran.
5)
Akikah yaiotu dilakukannya
cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun
(kokolot) yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.
(kokolot) yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.
Seperti yang telah diuraikan diatas, apabila ada masyarakat baduy
yang melanggar asalah satu pantangan maka akan dikenai hukuman berupa
diasingkan ke hulu atau dipenjara oleh pihak polisi byang berwajib.
8.2
Sistem Keyakinan
Komunitas adat
Baduy Dalam memegang teguh tradisi dan kepercayaan Sunda Wiwitan (kepercayaan
Sunda pada masa awal sekali) hingga kini.Pada upacara adat khusus, warga Baduy
Dalam berkomunikasi dengan Yang Mahakuasa dengan cara membakar kemenyan.
Kemenyan yang dibakar mnjadi media kontak batin dengan Yang Mahakuasa. Mereka
melakukan upacara-upacara aadat sebagai wujud sikap hormat dan terimakasih
kepada Yang Mahakuasa. Orang-orang Baduy Dalam juga percaya adanya kehidupan
setelah mati, percaya bahwa surga dan neraka itu ada. Wujud dan kepercayaan itu
terlihat dalam tingkah laku dan perbuatan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka menjungjung tinggi prinsip-prinsip kejujuran dan kedamaian, senantiasa
berbuat jujur, ikhlas, menjauhi rasa iri, benci dan rasa-rasa lain yang dapat
merusak kesucian jiwa. Prinsip-prinsip ajaran ini juga menjadi pegangan hidup
bagi seluruh warga Baduy.
8.3
Tempat Upacara Keagamaan
A.
Hari
Raya KawaluPada masa Kawalu ini, pada hari-hari yang ditentukan diselenggarakan
acara besar yaitu menumbuk padi perdana secara bersama, diikuti dan dihadiri
oleh semua utusan komunitas adat Baduy. Biasanya dipusatkan di
Cibeo, Baduy Dalam.
B.
Perkawinan
Upacara adat pernikahan di Baduy Dalam
biasanya diselenggarakan di halaman rumah dan pernikahan disaksikan tetua adat, para orang tua dan penduduk
sekitar dengan mengucapkan
jandi setia untuk hidup bertanggung jawab, rajin bekerja untuk mencukupi
kebutuhan keluarga.
C.
Khitanan Massal
Upacara
adat ini dilaksanakan di temapat
khusu yaitu saung Papajangan atau saung Pasajean di halaman kampung
yang sengaja dibangun secara mendadak. Ukurannya sekitar 4 m x 4 m dengan tinggi lantai saung sekitar 1,5 m.
tingginya lantai ini merupakan symbol dari harapan tinggi bagi anak-anak agar
kelak hidupnya mulia dan sejahtera.
D. Upacara
Adat Cukuran
Upacara
adat ini dilaksanakan di
tengah-tengah kampung yang disebut dengan alun-alun atau dalam
bahasa sekitar Baduy dikenal dengan sebutan buruhan.
BAB IX
KESENIAN
9.1
Seni
Musik
Baduy
memiliki lagu daerah yang berjudul cikarileu dan kidung atau pantun yang biasa
digunakkan dalam acara pernikahan adat Baduy. Baduy pun
memiliki alat alat music tradisional, antara lain:
A.
Calintu
Calintu
adalah salah satu alat musik khas Baduy Dalam namun terdapat juga di daerah
Baduy Luar yang dipasang di ladang. Tujuannya adalah untuk
menghibur padi yang baru ditanam hingga menjelang panen.
Ada
cerita tersendiri mengenai musik tradisional dari Baduy ini. Suara instrumennya
seperti ketika menonton film tentang Tibet. “Nguuu..ng..” nada itu berbunyi
panjang dan berulang-ulang. Ternyata suara itu terbuat dari bambu yang
diikatkan dipohon. Bambu itu masih utuh dari pangkal hingga pucuk. Disetiap
ruas, ada lubang yang dibuat berukuran sama. Ketika angin berembus ke arah
bambu itu, maka bambu itu akan mengeluarkan bunyinya.
B. Rebab
Baduy
Rebab Baduy berbentuk mirip dengan
biola diatonic, tetapi lebih sederhana dan bertangga nada pentatonic, tangga
nada yang sama dengan nada gamelan. Rebab buatan Baduy ini berbeda dengan rebab
yang ada pada musik tradisional Jawa, Sunda atau Cina.
C.
Angklung Buhun
Kesenian
angklung buhun merupakan merupakan kesenian angklung khas kabupaten Lebak dengan
peralatan perkusi dari bamboo yang dibentuk sedemikian rupa sehingga
menimbulkan nada-nada yang harmonis. Angklung nuhun berarti angklung tua, dulu
yang dalam arti sebenarnya adalah kesenian pusaka. Dinamakan buhun karena
karena kesenian ini lahir bersamaan dengan kelahiran masyarakat baduy. Di Baduy
musik angklung hanya dimainkan pada saat upacara sakral. Pertama, saat acara adat tanam padi Serang yang lebih
sering diadakan di Cibeo, juga disebut sebagai pembukaan angklung. Kedua, di
masing-masing kampung di tengah malam, mengiringi pembuatan “bubur ti’is”
(perangkat upacara doa bagi tanaman padi diladang.
DAFTAR PUSTAKA
Erwinantu.
2012. “Saba Baduy”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Khomsan Ali, dkk. 2009. “Sosio-Budaya
Pangan Suku Baduy” (online). Tersedia dalam:http://journal.ipb.ac.id/index.php/jgizipangan/article/viewFile/4522/3025
Bengjay. 2009. “Asal Usul baduy” (online). Tersedia dalam http://id.shvoong.com/social-sciences/1925540-asal-usul-suku-baduy/
0 Response to "Makalah Kerangka Etnografi Suku Baduy (Tugas Antropologi)"