BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Toleransi adalah istilah dalam konteks
sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya
diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima
oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama,
dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan
agama-agama lainnya.
Toleransi sepenuhnya diharuskan oleh
Islam. Islam secara
definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang
demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’ālamîn”
(agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk
menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi
dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia
dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin
disamakan.
Melihat agama Islam yang begitu penuh toleransi terhadap
agama-agama lainnya, membuat
penulis merasa tertarik dan membuat rasa keingintahuan penulis
untuk lebih mengetahui konsep
toleransi dan praktik toleransi dalam sejarah Islam. Oleh karena itu penulis mengambil judul “Konsep Toleransi dan Praktik Toleransi dalam
Sejarah Islam”
1.2
Perumusan
Masalah
Ada
pun rumusan masalah yang Penulis tentukan yaitu:
1.
Apa yang dimaksud dengan toleransi antar
umat beragama?
2.
Bagaimana
konsep
toleransi dalam Islam?
3.
Bagaimana
praktik
toleransi dalam sejarah Islam?
1.3
Maksud
dan Tujuan
1.3.1
Maksud
Pembuatan Makalah
Maksud dari pembuatan makalah ini adalah
untuk menambah pengetahuan seputar toleransi antara umat beragama serta
mengetahui bagaimana konsep dan praktiknya dalam sejarah Islam. Selain dari pada itu untuk menumbuhkan sikap toleransi
terhadap sesame umat beragama.
1.3.2
Tujuan
Pembuatan Makalah
Adapun tujuan
Penulis melakukan penelitian ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui yang dimaksud dengan toleransi antar umat beragama.
2.
Untuk
mengetahui konsep toleransi dalam Islam.
3.
Untuk
mengetahui praktik toleransi dalam sejarah Islam.
4.
Untuk
memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Semester II
pada Program Studi Ilmu Komunikasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Telaah Pustaka
2.1.1 Definisi
Toleransi Antar Umat Beragama
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau
bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang
bertentangan dengan pendiriannya.Toleransi juga berarti batas ukur untuk
penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.
Dalam bahasa Arab, toleransi biasa
disebut “ikhtimal, tasamuh” yang artinya sikap membiarkan, lapang dada
(samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan) artinya: murah hati, suka
berderma (kamus Al Muna-wir hal.702). Jadi, toleransi (tasamuh) beragama adalah
menghargai dengan sabar, menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau
kelompok lain.
Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali
memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:
·
Kerelaan hati karena kemuliaan dan
kedermawanan
·
Kelapangan dada karena kebersihan dan
ketaqwaan
·
Kelemah lembutan karena kemudahan
·
Muka yang ceria karena kegembiraan
·
Rendah diri dihadapan kaum muslimin
bukan karena kehinaan
·
Mudah dalam berhubungan sosial
(mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
·
Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan
Allah tanpa basa basi
·
Terikat dan tunduk kepada agama Allah
Subhanahu wa Ta'ala tanpa ada rasa keberatan.
Toleransi adalah konsep modern untuk
menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara
kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya,
politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan konsep agung dan mulia
yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk agama
Islam.
Dalam konteks toleransi antar-umat
beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama” ,
“Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami” adalah contoh populer dari toleransi dalam
Islam. Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia,
tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup. Dengan makna toleransi yang luas semacam ini,
maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan
serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi
keyakinan manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah
membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam.
Toleransi
dalam beragama bukan berarti kita harus hidup dalam ajaran agama lain.Namun
toleransi dalam beragama yang dimaksudkan disini adalah meng- hormati agama
lain.
2.2
Hasil Diskusi Kelompok
2.2.1
Konsep
Toleransi Dalam Islam
Toleransi sepenuhnya diharuskan oleh
Islam. Islam secara
definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang
demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’ālamîn”
(agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk
menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi
dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia
dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin
disamakan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, “dan Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka
Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya?”
Di bagian lain
Allah mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai
para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah
olehmu sekalian akan Daku (saja). Ayat
ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian
mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan
bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan
“sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.
Selanjutnya,
di Surah Yunus Allah menandaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya
Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan
(kalimatun sawā atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita
tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa
pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai
“tuhan-tuhan” selain Allah!” Ayat ini
mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan
persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan
menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid,
yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan
amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari
oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.
Saling menghargai dalam iman dan
keyakinan adalah konsep Islam. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya
rasa persaudaraan universal di antara umat manusia.
Selain itu,
hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man fil
ardhi yarhamukum man fil samā” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan
sayang pula mereka yang di langit kepadamu).
Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam.
Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya
perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga
terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan
serta menegasikan semua keburukan.
Fakta historis
toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah. Piagam ini adalah satu contoh mengenai
prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di
Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap
saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta
saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.
Sikap
melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan
juga muncul dalam sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap
sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan dalam Syu’ab al-Imam, karya
seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang membongkar aib
orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di
hari pembalasan”.
Di sini,
saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman
bahwa umat manusia adalah satu badan, dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila
mereka menyakiti satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti
toleransi, menajdi prinsip yang sangat kuat di dalam Islam.
Namun, prinsip
yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi
toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam
diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari
prinsip ini. Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan yang artinya: “Maka
hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Allah); yang
alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia
menciptakan manusia…”
Mufassir
Baidhawi terhadap ayat di atas menegaskan bahwa kalimat itu merujuk pada
perjanjian yang disepakati Adam dan keturunanya. Perjanjian ini dibuat dalam
suatu keadaan, yang dianggap seluruh kaum Muslim sebagai suatu yang sentral
dalam sejarah moral umat manusia, karena semua benih umat manusia berasal dari
sulbi anak-anak Adam. Penegasan Baidhawi sangat relevan jika dikaitkan dengan
hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi ditanya: “Agama yang manakah yang
paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab “agama asal mula yang
toleran (al-hanîfiyyatus samhah).
Dilihat dari
argumen-argumen di atas, menunjukkan bahwa baik al-Qur’an maupun Sunnah Nabi
secara otentik mengajarkan toleransi dalam artinya yang penuh. Ini jelas
berbeda dengan gagasan dan praktik toleransi yang ada di barat. Toleransi di
barat lahir karena perang-perang agama pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak
rasa kemanusiaan sehingga nyaris harga manusia jatuh ke titik nadir. Latar
belakang itu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang Toleransi
Antar-agama yang kemudian meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan
hukum.
Lalu, apa itu toleransi? Toleransi menurut Syekh Salim
bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:
·
Kerelaan hati karena kemuliaan dan
kedermawanan
·
Kelapangan dada karena kebersihan dan
ketaqwaan
·
Kelemah lembutan karena kemudahan
·
Muka yang ceria karena kegembiraan
·
Rendah diri dihadapan kaum muslimin
bukan karena kehinaan
·
Mudah dalam berhubungan sosial
(mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
·
Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan
Allah tanpa basa basi
·
Terikat dan tunduk kepada agama Allah
Subhanahu wa Ta'ala tanpa ada rasa keberatan.
Selanjutnya,
menurut Salin al-Hilali karakteristik itu merupakan:
a.
Inti
Islam
b.
Seutama
iman
c. Puncak tertinggi budi pekerti (akhlaq).
Dalam konteks
ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda. Artinya:
“Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang mahmum dan lisan yang jujur,
ditanyakan: Apa hati yang mahmum itu? Jawabnya : 'Adalah hati yang bertaqwa,
bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas dan tidak ada rasa
dengki'. Ditanyakan: Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu?. Jawabnya :
'Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat'. Ditanyakan : Siapa lagi
setelah itu? Jawabnya : 'Seorang mukmin yang berbudi pekerti luhur."
Hadis Nabi tersebut dikemukakan untuk
menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu serba-meliputi. Baik lahir maupun
batin. Toleransi, karena itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati. Ini berarti toleransi bukan saja memerlukan kesediaan
ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan material
maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep
Islam tentang toleransi menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan amal baik
2.2.2 Toleransi Dalam
Praktik Sejarah Islam
Sejarah Islam adalah sejarah toleransi.
Perkembangan Islam ke wilayah-wilayah luar Jazirah Arabia yang begitu cepat
menunjukkan bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmatal lil’alamin (pengayom
semua manusia dan alam semesta). Ekspansi-ekspansi Islam ke Siria, Mesir,
Spanyol, Persia, Asia, dan ke seluruh dunia dilakukan melalui jalan damai.
Islam tidak memaksakan agama kepada mereka (penduduk taklukan) sampai akhirnya
mereka menemukan kebenaran Islam itu sendiri melalui interaksi intensif dan
dialog. Kondisi ini berjalan merata hingga Islam mencapai wilayah yang sangat
luas ke hampir seluruh dunia dengan amat singkat dan fantastik.
Memang perlu diakui bahwa perluasan
wilayah Islam itu sering menimbulkan peperangan. Tapi peperangan itu dilakukan
hanya sebagai pembelaan sehingga Islam tak mengalami kekalahan. Peperangan itu
bukan karena memaksakan keyakinan kepada mereka tapi karena ekses-ekses politik
sebagai konsekuensi logis dari sebuah pendudukan. Pemaksaan keyakinan agama
adalah dilarang dalam Islam. Bahkan sekalipun Islam telah berkuasa, banyak
agama lokal yang tetap dibolehkan hidup.
Demikianlah, sikap toleransi Islam
terhadap agama-agama dan keyakinan-keyakinan lokal dalam sejarah kekuasaan
Islam menunjukkan garis kontinum antara prinsip Syari’ah dengan praktiknya di
lapangan. Meski praktik toleransi sering mengalami interupsi, namun secara
doktrin tak ada dukungan teks Syari’ah. Ini berarti kekerasan yang terjadi atas
nama Islam bukanlah otentisitas ajaran Islam itu sendiri. Bahkan bukti-bukti
sejarah menunjukkan bahwa pemerintah-pemerintah Muslim membiarkan, bekerjasama,
dan memakai orang-orang Kristen, Yahudi, Shabi’un, dan penyembah berhala dalam
pemerintahan mereka atau sebagai pegawai dalam pemerintahan.
Lebih lanjut kesaksian seorang Yahudi
bernama Max I. Dimon menyatakan bahwa “salah satu akibat dari toleransi Islam
adalah bebasnya orang-orang Yahudi berpindah dan mengambil manfaat dengan
menempatkan diri mereka di seluruh pelosok Empirium Islam yang amat besar itu.
Lainnya ialah bahwa mereka dapat mencari penghidupan dalam cara apapun yang
mereka pilih, karena tidak ada profesi yang dilarang bagi mereka, juga tak ada
keahlian khusus yang diserahkan kepada mereka”.
Pengakuan Max I. Dimon atas toleransi
Islam pada orang-orang Yahudi di Spanyol adalah pengakuan yang sangat tepat. Ia
bahkan menyatakan bahwa dalam peradaban Islam, masyarakat Islam membuka pintu
masjid, dan kamar tidur mereka, untuk pindah agama, pendidikan, maupun asimilasi.
Orang-orang Yahudi, kata Max I. Dimon selanjutnya, tidak pernah mengalami hal
yang begitu bagus sebelumnya.
Kutipan ini saya tegaskan karena ini
dapat menjadi kesaksian dari seorang non-Muslim tentang toleransi Islam. Dan
toleransi ini secara relatif terus dipraktikkan di dalam sejarah Islam di
masa-masa sesudahnya oleh orang-orang Muslim di kawasan lain, termasuk di
Nusantara. Melalui para
pedagang Gujarat dan Arab, para raja di Nusantara Indonesia masuk Islam dan ini
menjadi cikal bakal tumbuhnya Islam di sini.
Selanjutnya, dalam sejarah penyebaran
Islam di Nusantara, ia dilakukan melalui perdagangan dan interaksi kawin-mawin.
Ia tidak dilakukan melalui kolonialisme atau penjajahan
sehingga sikap penerimaan masyarakat Nusantara sangat apresiatif dan dengan
suka rela memeluk agama Islam. Sementara penduduk lokal lain yang tetap pada
keyakinan lamanya juga tidak dimusuhi. Di sini, perlu dicatat bahwa model
akulturasi dan enkulturasi budaya juga dilakukan demi toleransi dengan
budaya-budaya setempat sehingga tak menimbulkan konflik. Apa yang dicontohkan
para walisongo di Jawa, misalnya, merupakan contoh sahih betapa penyebaran
Islam dilakukan dengan pola-pola toleransi yang amat mencengangkan bagi
keagungan ajaran Islam.
Secara
perlahan dan pasti, islamisasi di
seluruh Nusantara hampir mendekati sempurna yang dilakukan tanpa konflik
sedikitpun. Hingga hari ini kegairahan beragama Islam dengan segala
gegap-gempitanya menandai keberhasilan toleransi Islam. Ini membuktikan bahwa
jika tak ada toleransi, yakni sikap menghormati perbedaan budaya maka
perkembangan Islam di Nusantara tak akan sefantastik sekarang.
BAB III
PENUTUP
Toleransi dalam Islam adalah otentik.
Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena
sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan
implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten.
Namun, toleransi beragama menurut Islam
bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar
keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini
adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas
bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana
masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling
menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun
hak-haknya.
Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada
paksaan dalam agama. Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk
mengikuti agama kita adalah sikap historis, yang tidak ada dasar dan contohnya
di dalam sejarah Islam awal. Justru dengan sikap toleran yang amat indah
inilah, sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga
dicatat dalam tinta emas oleh sejarah peradaban dunia hingga hari ini dan
insyaallah di masa depan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ust.
Syamsul Arifin Nababan. 2009. ”Toleransi Antar Umat Beragama menurut pandangan
Islam (online). Tersedia dalam http://www.annaba-center.com/main/kajian/detail.php?detail=20090312204755
Jappy Pellokila. 2008. “Toleransi Antar Umat Beragama” (online). Tersedia dalam http://www.jappy.8m.net/custom3.html
Asaad.2012.Toleransi Antar Umat Beragama (online). Tersedia dalam http://asaad36.blogspot.com/2012/03/toleransi-antar-umat-beragama.html
Shvoong.
2011. “Toleransi Antar Umat Beragama”
(online). Tersedia dalam http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2168682-toleransi-antar-umat-beragama/
Angga
Erwin. 2011. “Toleransi Antar
Umat Beragama” (online). Tersedia
dalam http://antharas14.blogspot.com/2011/03/toleransi-antar-umat-beragama.html
Nurdin Abdullah. 2012. “Toleransi antar
Umat Beragama Menurut Pandangan Islam” (online).
Tersedia dalam http://manalor.wordpress.com/2012/03/13/toleransi-antar-umat-beragama/
Desy Saputra. 2011. “Toleransi antarumat beragama
merosot” (online). Tersedia
dalam http://www.antaranews.com/berita/1315459815/toleransi-antarumat-beragama-merosot
Tafany. 2009. “Toleransi antar Umat Beragama” (online). Tersedia dalam http://tafany.wordpress.com/2009/06/12/toleransi-antar-umat-beragama/
Ahmad
Baraas. 2010. “Nyepi, Umat
Muslim Bali Shalat Jumat Seperti Biasa” (online).
Tersedia dalam http://www.republika.co.id/berita/nasional/nusantara-nasional/12/03/23/m1c61z-shalat-jumat-dan-nyepi-berjalan-penuh-toleransi
Blogspot. 2010. “Islam, Pluralisme Agama dan Toleransi
Umat Beragama” (online). Tersedia
dalam http://kang-tejo.blogspot.com/2010/04/islam-pluralisme-agama-dan-toleransi.html
Nur Afilin. 2012. “Islam dan Toleransi” (online). Tersedia dalam http://www.dakwatuna.com/2012/02/18905/islam-dan-toleransi/
.2012. “Prinsip Toleransi
Beragama dalam Peradaban Islam” (online). Tersedia dalam
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
0 Response to "Makalah Konsep Toleransi Dan Praktik Toleransi Dalam Sejarah Islam"